24 November 2009

Tawassul Bid'ah dan Tawassul yang Disyariatkan


Tanya :
Saya ingin bertanya tentang tawassul. Saya tahu bahwa orang yang meminta tawassul (perantaraan) dari kuburan atau meminta kepada orang mati adalah doa kepada selain Allah, dan itu tidak benar. Akan tetapi ada orang bilang, tetapi apa salahnya saya meminta doa kepada orang shalih yang masih hidup? Dengan begitu, apa salahnya pula meminta doa itu darinya sesudah dia meninggal dunia? Bagaimana saya menjawab sanggahan saudara saya itu? Tawassul bagaimana yang dibolehkan? Dan tawassul bagaimana yang tidak dibolehkan?

Jawab :

Al-Hamdulillah. Tawassul secara bahasa artinya mendekatkan diri. Di antaranya dalam firman Allah: "…dan memohon wasilah untuk mendekatkan diri kepada Rabb mereka."

Tawassul dibagi menjadi dua: Tawassul yang disyariatkan, dan tawassul yang dilarang.

1. Tawassul yang disyariatkan yaitu: Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang Dia cintai dan Dia ridhai berupa ibadah-ibadah yang wajib dan sunnah, baik berupa ucapan, perbuatan atau keyakinan.

Bentuknya bisa bermacam-macam:
Pertama:Ber-tawassul kepada Allah dengan Asma dan Shifat-Nya. Allah berfirman: " Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalakanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."(Al-A'raaf : 180)

Caranya, seorang hamba ketika berdoa kepada Allah, terlebih dahulu menyebutkan nama-Nya yang sesuai dengan permintaannya; seperti menyebutkan nama Yang Maha Pengasih (Ar-Rahmaan), ketika ia meminta belas kasihan; atau menyebut nama Yang Maha Pengampun (Ghafuur), ketika memohon ampunan, dan sejenisnya.

Yang kedua: Bertawassul kepada Allah dengan iman dan tauhid. Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah). " (Ali Imraan : 53)

Yang ketiga: Bertawassul dengan amal shalih. Yakni dengan cara seorang hamba memohon kepada Rabb melalui amalan paling ikhlas yang pernah dia lakukan, yang bisa diharapkan, seperti shalat, puasa atau membaca Al-Qur'an, atau kesuciannya dalam menjaga diri dari maksiat dan sejenisnya. Di antaranya seperti yang disebutkan dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim tentang kisah tiga orang yang masuk gua, tiba-tiba pintu gua tertutup oleh batu besar. Lalu mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amalan-amalan mereka yang paling diharapkan pahalanya. Termasuk di antaranya bila seorang hamba bertawassul kepada Allah dengan kefakirannya, sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Ayyub 'Alaihissalam: "Inni Massaniadh-Dhurru wa Anta Arhamurrahimin." (Sesungguhnya aku telah mengalami kesengsaraan dan Engkau adalah Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih..) Atau dengan pengakuan seorang hamba terhadap kezhalimannya dan kebutuhan dirinya terhadap Allah sebagaimana diungkapkan oleh Nabi Yunus: "Laa Ilaaha Illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Minazh zhalimin." (Tidak ada yang berhak diibadahi secara benar melainkan Engkau; Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim..)

Tawassul-tawassul yang disyariatkan inipun berbeda-beda hukumnya yang satu dengan yang lainnya. Ada yang wajib, seperti tawassul dengan menyebutkan nama dan sifat Allah atau dengan tauhid. Ada juga yang disunnahkan, seperti tawassul dengan menyebutkan amal shalih.

2. Adapun tawassul yang dilarang dan bid'ah itu adalah: Bertawassul kepada Allah dengan hal-hal yang tidak disukai dan tidak diridhainya, berupa ucapan, perbuatan dan keyakinan.

Di antaranya tawassul dengan berdoa kepada orang-orang mati atau orang-orang yang tidak hadir, memohon keselamatan dengan perantaraan mereka, dan sejenisnya. Semua perbuatan itu adalah syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan bertentangan dengan tauhid. Berdoa kepada Allah, baik dalam bentuk doa permohonan seperti meminta sesuatu dan meminta diselamatkan dari bahaya: atau doa ibadah seperti rasa tunduk dan pasrah di hadapan Allah, kesemuanya itu tidak boleh dialamatkan kepada selain Allah. Memalingkannya dari Allah adalah syirik dalam berdoa. Allah berfirman: "Dan Allah berfirman: "Dan Rabbmu berfirman:"Berdo'alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk naar Jahannam dalam keadaan hina dina…" (Al-Mukmin : 60)

Allah menjelaskan dalam ayat di atas ganjaran bagi orang yang enggan berdoa kepada-Nya, bisa jadi dengan berdoa kepada selain-Nya atau dengan tidak mau berdoa kepada-Nya secara global dan rinci, karena takkbur atau sikap ujub, meski tak sampai berdoa kepada selain-Nya. Allah juga berfirman: "Berdoalah kepada Allah dengan rasa tunduk dan suara perlahan.." Dalam ayat ini Allah memerintahkan berdoa kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya. Allah berfirman menceritkan ucapan Ahli Neraka: "Demi Allah, sungguh kami dahulu (di dunia) berada dalam kesesatan yang nyata; tatkala kami menyamakan kalian dengan Rabb sekalian makhluk." Segala bentuk penyamaan Allah dengan selain-Nya dalam ibadah dan ketaatan, maka itu adalah perbuatan syirik terhadap-Nya. Allah berfirman: "Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do'anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do'a mereka. " (Al-Ahqaaf : 5) "Dan barangsiapa yang menyeru sesembahan selain Allah, sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya, sesungguhnya tidak akan beruntung orang-orang yang kafir." Allah menganggap orang yang berdoa kepada selain-Nya, berarti telah mengambil sesembahan selain-Nya pula. Allah berfirman: "Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada menmendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.)Faatir : 13-14) Allah menjelaskan dalam ayat ini, bahwa Dia-lah yang Maha Berkuasa dan Mampu mengurus segala sesuatu, bukan selain-Nya. Bahwasanya para sesembahan itu tidak dapat mendengar doa, apalagi untuk mengabulkan doa tersebut. Kalaupun dimisalkan mereka dapat mendengar, merekapun tidak akan mampu mengabulkannya, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau memberi mudharrat, dan tidak memiliki kemampuan atas hal itu.



Selengkapnya...

Minta Ampunan dari Allah bagi orang-orang musyrik


Tanya :
Seseorang tadinya muslim kemudian murtad ( keluar ) dari Islam dan mati dalam keadaan murtad, maka apakah dapat kita katakan bahwa dia kafir, dan apakah hukum orang murtad dalam Islam, dan bolehkan kita memohonkan ampunan baginya seperti berdo'a : Ya Allah ampunilah baginya dosa-dosanya …. ?

Jawab :

Barangsiapa yang tadinya muslim ( memeluk agama Islam ) kemudian ia murtad maka dia telah kafir dan harus diminta untuk bertaubat dan diberikan waktu selama tiga hari, jika tidak bertaubat maka dibunuh. Dan tidak boleh memohon ampunan untuknya jika ia mati dalam keadaan murtad, berdasarkan firman Allah : Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. 9:113).

Pertanyaan :
saya mempunyai beberapa kakek yang mati dalam keadaan syirik, apakah boleh saya memohon ampunan bagi mereka ?

Jawab : tidak boleh bagi muslim untuk memohon ampunan bagi kakeknya atau lainnya, jika mereka mati dalam keadaan syirik, berdasarkan firman Allah : Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. 9:113)

===================
sumber :
Lajnah Daimah, III/424-425


Selengkapnya...

Apakah Jin dapat mempengaruhi diri manusia dan bagaimana cara untuk menjaga diri mereka?


Sabtu, 27 Maret 04

Tanya :

Apakah Jin dapat mempengaruhi diri manusia dan bagaimana cara untuk menjaga diri mereka?

Jawab :

Tidak dapat diragukan, jin bisa mempengaruhi manusia, dengan cara menggangu, dan bahkan bisa membunuh. Boleh jadi mereka menganggunya dengan cara melempar batu, menakut-nakuti manusia atau dengan berbagai hal seperti yang disebutkan dalam sunnah dan ditunjukkan oleh berbagai peristiwa. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu Alaihi wa Sallam mengijinkan untuk mengunjungi keluarganya dalam suatu perang, kalau tidak salah perang khandaq. Ada seorang pemuda yang belum lama menikah yang juga pulang menemui keluarganya. Sesampainya didepan rumah, isterinya sedang berada diambang pintu. Dia tidak berkenan dengan perbuatan isterinya itu. Lalu sang isteri berkata, "Masuklah!" Maka dia pun masuk. Ternyata diatas tempat tidurnya ada seekor ular. Karena dia masih membawa tombak, maka dia menusuk ular itu dengan tombaknya hingga mati. Tidak diketahui mana yang lebih dulu mati. Tatkala hal ini didengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka beliau melarang membunuh jin yang berada dirumah, kecuali ular yang jahat. Ini merupakan dalil bahwa jin bisa berbuat semena-mena terhadap manusia dan menggangunya. Banyak kejadian yang menunjukkan hal ini. Banyak cerita tentang orang yang pergi ke reruntuhan, lalu dia dilempar batu, tetapi tidak diketahui siapa yang melemparnya direruntuhan itu. Boleh jadi dia mendengar suara yang teramat pelan seperti suara pepohonan atau suara yang lain, sehingga membuatnya merasa ketakutan dan terganggu. Jin juga bisa masuk ketubuh manusia, entah karena iseng maupun sengaja untuk mengganggunya ataupun sebab-sebab tertentu. Hal ini telah diisyaratkan dalam firman Allah : " Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila." (Al-Baqarah: 275) .

Dalam hal ini boleh jadi jin berbicara dari dalam diri manusia dan berbicara dengan orang yang sedang membaca Al-qur'an, atau dia membuat perjanjian tertentu dengannya agar tidak melakukan berbagai hal. Untuk melindungi dari kejahatan jin, seseorang bisa membaca apa yang telah disebutkan didalam sunnah, seperti ayat kursy. Jika ayat kursy ini dibaca seseorang pada malam hari, maka ia akan menjadi penjaga baginya dan tidak akan didekati syetan hingga pagi hari.


Selengkapnya...

Hukum Pergi Kepada Dukun dan Sejenisnya Untuk Memperoleh Kesembuhan dan Mempercayai Mereka


Sabtu, 05 Februari 05

Pembaca berinisial F.A.A. dari Riyadh mengirimkan surat kepada kami. Dalam surat itu dia mengatakan, "Ayahku sakit jiwa dan penyakit tersebut sudah berlangsung lama. Selama itu pula berkali-kali datang ke rumah sakit. Tetapi sebagian kerabat meng-isyaratkan kepada kami agar pergi kepada seorang wanita. Kata mereka, wanita ini mengetahui penyembuhan untuk penyakit-penyakit demikian. Kata mereka, "Berikan nama saja kepadanya, dan ia akan memberitahukan kepada kalian tentang apa yang dideritanya dan memberikan obat untuknya." Apakah kami boleh pergi kepada wanita ini? Berilah fatwa kepada kami, terima kasih.

Jawaban:

Tidak boleh bertanya kepada wanita ini dan sejenisnya, karena ia termasuk golongan peramal dan dukun yang meng-klaim mengetahui perkara ghaib serta meminta bantuan kepada jin dalam pengobatan mereka dan berita-berita yang mereka sampaikan.

Telah shahih dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bahwa beliau bersabda,
"Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari." (HR. Muslim dalam Shahihnya).

Dan telah shahih dari beliau Shalallaahu alaihi wasalam,
"Barangsiapa mendatangi peramal atau dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad."

Hadits-hadits yang semakna dengan ini cukup banyak.

Kewajiban kita ialah mencegah mereka dan siapa yang datang kepada mereka, tidak bertanya kepada mereka dan mempercayai mereka, serta melaporkan mereka kepada pejabat yang berwenang sehingga mereka dihukum dengan hukuman yang setimpal. Karena membiarkan mereka dan tidak melaporkan mereka akan membahayakan semua orang, serta membantu keterpedayaan orang-orang bodoh kepada mereka, bertanya kepada mereka, dan mempercayai mereka.

Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

"Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka rubahlah ia dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman." (HR. Muslim, dalam Shahihnya).

Tidak diragukan lagi bahwa melaporkan mereka kepada penguasa, seperti Amir Negeri, Lembaga Amar Ma'ruf Nahi Mungkar dan Pengadilan, termasuk dalam kategori mengingkari mereka dengan lisan dan termasuk tolong menolong atas dasar kebajikan dan takwa. Semoga Allah menunjukkan umat muslim pada kemaslahatan mereka dan mereka selamat dari segala ke-burukan.

=========================
sumber :
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa al-`Ilaj bi al-Qur'an wa as-Sunnah - ar-Ruqa wama yata`allaqu biha, hal. 36-37.


Selengkapnya...

Hukum Perdukunan dan Mendatangi Dukun


Sabtu, 05 Februari 05
Tentang perdukunan dan hukum mendatangi dukun?

Jawaban:
Kahanah (perdukunan) wazan fa'alah diambil dari kata takahhun, yaitu menerka-nerka dan mencari hakikat dengan perkara-perkara yang tidak ada dasarnya. Perdukunan di masa jahiliyah dinisbatkan kepada suatu kaum yang dihubungi oleh para setan yang mencuri pembicaraan dari langit dan menceritakan apa yang didengarnya kepada mereka. Kemudian mereka mengambil ucapan yang disampaikan kepada mereka dari langit lewat perantaraan para setan dan menambahkan pernyataan di dalamnya. Kemudian mereka menceritakan hal itu kepada manusia. Jika sesuatu terjadi yang sesuai dengan apa yang mereka katakan, maka orang-orang tertipu dengan mereka dan menja-dikan mereka sebagai rujukan dalam memutuskan perkara di antara mereka serta menyimpulkan apa yang akan terjadi di masa depan. Kerena itu, kita katakan, "Dukun adalah orang yang menceritakan tentang perkara-perkara ghaib di masa yang akan datang." Sedangkan orang yang mendatangi dukun itu terbagi menjadi tiga macam:

Pertama, orang yang datang kepada dukun lalu bertanya kepadanya dengan tanpa mempercayainya. Ini diharamkan. Hukuman bagi pelakunya ialah tidak diterima shalatnya selama 40 malam, sebagaimana termaktub dalam Shahih Muslim bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,

"Barangsiapa yang datang kepada peramal lalu bertanya kepada-nya tentang suatu perkara, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari atau 40 malam."

Kedua, orang yang datang kepada dukun lalu bertanya kepadanya dan mempercayai apa yang diberitakannya, maka ini merupakan kekafiran kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala . Karena ia mempercayainya tentang pengakuannya mengetahui perkara ghaib, sedangkan mempercayai seseorang tentang pengakuannya mengetahui per-kara ghaib adalah mendustakan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala ,

"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah." (An-Naml: 65).

Karenanya, disinyalir dalam hadits shahih,

"Barangsiapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad."

Ketiga, orang yang datang kepada dukun lalu bertanya kepadanya untuk menjelaskan ihwalnya kepada manusia, dan bahwasanya itu adalah perdukunan, pengelabuan dan penyesatan. Ini tidak mengapa. Dalil mengenai hal itu, bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kedatangan Ibnu Shayyad, lalu Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menyembunyikan sesuatu untuknya dalam dirinya, lalu beliau bertanya kepadanya, apakah yang beliau sembunyikan untuknya? Ia menjawab, "Asap." Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,

من نذر أن يطيع الله فليطعه و من نذر أن يعصيه فلا يعصه

"Pergilah dengan hina, kamu tidak akan melampui kemampuanmu."

Inilah keadaan orang yang datang kepada dukun,

Pertama, ia datang kepada dukun lalu bertanya kepadanya dengan tanpa mempercayainya dan tanpa tujuan menjelaskan ke-adaannya (kepada manusia). Ini diharamkan, dan hukuman bagi pelakunya ialah tidak diterima shalatnya selama 40 malam.

Kedua, ia bertanya kepadanya dan mempercayainya. Ini kekafiran kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang wajib atas manusia bertaubat darinya dan kembali kepada Allah. Jika tidak bertaubat, maka ia mati di atas kekafiran.

Ketiga, ia datang kepada dukun dan bertanya kepadanya untuk mengujinya dan menjelaskan keadaannya kepada manusia. Ini tidak mengapa.

===================
sumber :
Al-Majmu' ats-Tsamin min Fatawa asy-Syaikh Ibn Utsaimin, jilid 2, hal. 136-137



Selengkapnya...

23 November 2009

Kitab Permulaan Turunnya Wahyu


Bab Bagaimana Permulaan Turunnya Wahyu kepada Rasulullah saw

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ ‏ ‏يَقُولُ سَمِعْتُ ‏ ‏عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ‏ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ‏ ‏عَلَى الْمِنْبَرِ ‏
‏قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَقُولُ ‏ ‏إِنَّمَا الْأَعْمَالُ ‏ ‏بِالنِّيَّاتِ ‏ ‏وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا ‏ ‏يُصِيبُهَا ‏ ‏أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ‏

Dari Alqamah bin Waqash al-Laitsi, ia berkata, "Saya mendengar Umar ibnul Khaththab r.a. berkata di atas mimbar, 'Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, sesungguhnya amal-amal itu hanyalah dengan niatnya , bagi setiap orang hanyalah sesuatu yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya (kepada Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul Nya. Dan, barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia, maka ia akan mendapatkannya. Atau, kepada wanita yang akan dinikahinya , maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang karenanya ia hijrah."

Selengkapnya...

Sejarah Kemunculan Mazhab

Maksud Perkataan “Mazhab” dan “Imam”

Sebelum ditinjau sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu maksud perkataan “Mazhab” dan “Imam” itu sendiri.

Mazhab (مذهب) dari sudut bahasa bererti “jalan” atau “the way of”. Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah dan dari sudut fiqh.

Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya. Antara contoh mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap daripada kumpulan mazhab akidah ini mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya yang tersendiri. Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘e dan Mazhab Hanbali.[1]

Mazhab fiqh pula, sebagaimana terang Huzaemah Tahido, bererti:

Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempoh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Ianya juga bererti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.[2]

Contoh imam mazhab ialah Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal. Pengertian mazhab ini kemudiannya beralih menjadi satu kumpulan ajaran fiqh Islam yang diikuti dan diterima oleh satu-satu kumpulan umat Islam dalam sesebuah wilayah atau negara. Ianya menjadi sumber rujukan dan pegangan yang diiktiraf sebagai ganti atau alternatif kepada ikutan, ijtihad dan analisa terhadap ajaran asli al-Qur’an dan al-Sunnah.

Perkataan “Imam” dari sudut bahasa bererti “teladan” atau “pemimpin.” Dalam Islam, perkataan “Imam” memiliki beberapa maksud selari dengan konteks penggunaannya, iaitu:

1. Imam sebagai pemimpin solat berjamaah.

2. Imam sebagai pemimpin atau ketua komuniti orang-orang Islam.

3. Imam sebagai tanda kelebihan kedudukan ilmunya, sehingga dijadikan sumber pembelajaran dan rujukan ilmu agama. Contohnya ialah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan sebagainya. Walaupun mereka dijadikan sumber rujukan ilmu, autoriti mereka hanyalah terhad kepada apa yang tertera dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.

1. Imam sebagai wakil Allah dan pemimpin umat serta penentu zaman. Imam sebegini hanya khusus bagi Mazhab Syi‘ah. Imam-imam ini bukan sahaja dijadikan rujukan syari‘at tetapi juga memiliki autoriti dalam menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan syari‘at tanpa terhad kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.[3]

Sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam

Mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat iaitu Maliki, Hanafi, Shafi‘e dan Hanbali hanya muncul dan lahir secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasid, iaitu sejak kurun ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan perkembangannya boleh dilihat dalam 4 peringkat, iaitu:

1. Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rashidun yang empat.

2. Pada era Pemerintahan Dinasti Umayyad dan Abbasid di mana pada ketika inilah mazhab-mazhab Islam mula muncul dan berkembang.

3. Pada era kejatuhan Islam, iaitu mulai kurun ke 4H/10M di mana mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.

4. Era kebangkitan semula Islam dan ilmu-ilmunya sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.[4]

1. Era Pertama

Era ini bermula sejak diutusnya Muhammad ibn Abdillah menjadi seorang Rasul Allah dan mengembangkan agama tauhid yang baru, iaitu Islam. Pada ketika ini sumber syari‘at adalah penurunan wahyu berupa al-Qur’an al-Karim dan tunjuk ajar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur’an diturunkan secara berperingkat-peringkat bertujuan memudahkan umat menerima dan belajar secara bertahap.

Kemudahan mereka mempelajari Islam disokong oleh kehadiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang bertindak sebagai guru. Ini sebagaimana dikhabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala di dalam al-Qur’an:

(Sebagaimana) Kami mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (iaitu Muhammad), yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan kamu (dari amalan syirik dan maksiat), dan yang mengajarkan kamu kandungan Kitab (Al-Quran) serta Hikmah kebijaksanaan, dan mengajarkan kamu apa yang belum kamu ketahui. [al-Baqarah 2:151]

Di samping itu sumber syari‘at kedua adalah juga merupakan pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kini kita terima sebagai Hadis. Hadis beliau adalah juga merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:

Dan dia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadis) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. [al-Najm 53:3-4]

Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam konteks keagamaan juga merupakan salah satu bentuk tunjuk ajar wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:

Aku tidak melakukan sesuatu melainkan menurut apa yang diwahyukan kepadaku. [al-Ahqaf 46:09]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bertindak sebagai seorang guru agama yang membetulkan apa-apa perbuatan umat pada ketika itu yang salah atau kurang baik walaupun beliau pada asalnya tidak ditanya akan hal tersebut. Contohnya ialah kisah yang diberitakan oleh seorang sahabat, Abu Hurairah radhiallahu ‘anh: Aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Maka aku menyelinap iaitu mengelakkan diri dari bertemu dengan Rasulullah dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah mencari-cari aku.

Ketika aku datang kembali, baginda pun bertanya: “Ke mana kamu pergi wahai Abu Hurairah ?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah! Engkau ingin menemuiku sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Aku merasa tidak selesa duduk bersama kamu sebelum aku mandi.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.”[5]

Daripada keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahawa sumber syari‘at atau fiqh Islam pada era pertama ini hanyalah apa yang bersumber daripada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yakni ajaran, perbuatan dan persetujuan beliau. Pada ketika ini fiqh Islam mudah dipelajari dan sebarang kemusykilan mudah terjawab dengan hadirnya seorang Rasul yang mengajar terus berdasarkan wahyu Allah ‘Azza wa Jalla.[6]

Selepas kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 10H/622M, para Khalifah al-Rashidun iaitu Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum mengambil-alih sebagai pemimpin agama dan negara. Islam dan segala ajaran syari‘atnya telahpun lengkap dengan kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para Khalifah al-Rashidun meneruskan tradisi pimpinan dan pengajaran Islam sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, iaitu berlandaskan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya wujud satu perbezaan yang besar pada ketika ini, iaitu wahyu tidak lagi diturunkan.

Dalam era empat khalifah ini, sempadan-sempadan Islam sudah mula meluas ke arah wilayah-wilayah yang baru. Dengan pembukaan ini, para khalifah Islam sekali-sekala terpaksa berhadapan dengan persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi sebelum ini yang melibatkan hal-hal muamalah seperti ekonomi, hartanah dan sebagainya. Bagi mencari jalan penyelesaiannya, para khalifah akan duduk berbicara dengan para sahabat (Shura) bagi memperoleh satu jawapan majoriti yang paling dekat dengan ketentuan al-Qur'an dan al-Sunnah.

Ibn Hazm (456H) rahimahullah meriwayatkan dari Maimun bin Mehram, kata beliau:

Abu Bakar al-Siddiq, apabila datang orang-orang yang berperkara kepadanya, beliau akan mencari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur'an), maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ketetapan al-Qur'an. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan beliau mengetahui sunnah Rasulullah dalam perkara itu, maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ia. Jika tidak ada sunnah pada perkara itu, beliaupun akan bertanya kepada para sahabat.

Abu Bakar akan berkata: “Telah datang kepadaku suatu perkara, maka adakah kalian mengetahui hukum yang Rasulullah berikan terhadapnya ?” Kadang-kadang berkumpullah beberapa orang sahabat di hadapannya memberitahu apa yang pernah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dan jika Abu Bakar masih tidak menemui sesuatu sunnah Rasulullah dari orang-orang yang ditanyakan itu, maka beliau akan mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat dalam majlis Shura lalu bertanyakan pendapat mereka. Dan jika pendapat mereka bersatu atas yang satu (semua setuju) iaitu ijma' , maka beliaupun akan memutuskan atas ketentuan hasil ijma' itu.

Dan Umar al-Khaththab berbuat demikian juga.[7]

Pada ketika ini, para sahabat kebanyakannya masih berada di sekitar Kota Madinah. Oleh itu tidaklah menjadi kesukaran untuk berbincang sesama mereka. Faktor ini memudahkan fiqh Islam berjalan dengan lancar dan selari tanpa wujud apa-apa mazhab atau jalan pandangan yang lain. Suasana fiqh Islam berada dalam keadaan yang tulen, penuh keseragaman dan bersatu sebagaimana yang wujud sebelum ini hasil kefahaman dan konsep saling bertolak ansur yang wujud di kalangan para sahabat dan pemimpin mereka.

Dalam era ini, tidak wujud sebarang mazhab melainkan apa yang disyari‘atkan oleh al-Qur’an, diajar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ para Khalifah serta sahabat radhiallahu ‘anhum.

2. Era Kedua

Mulai tahun 41H/661M, setelah berlakunya persaingan dan pergolakan politik, pemerintahan Islam beralih ke Dinasti Umayyad, satu kerajaan pemerintahan yang berprinsipkan dinasti iaitu yang berdasarkan zuriat keturunan. Dinasti Umayyad tidak memberikan perhatian yang besar kepada perkembangan fiqh Islam. Mereka hanya menumpukan perhatian kepada soalan perluasan empayar dan kekuasaan material.

Dalam era ini banyak pengaruh luar yang berasal daripada Byzantium, Parsi dan India masuk mencemari pemerintahan Dinasti Umayyad. Pola pemerintahan mula bertukar sedikit sebanyak ke arah sekular yang mengasingkan antara agama dan pentadbiran negara.[8] Hiburan-hiburan dan adat-istiadat baru juga mula diperkenalkan dalam istana yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti muzik dan tari menari, ahli nujum, penilik nasib dan sebagainya. Selain itu juga institusi Baitulmal telah bertukar daripada milik rakyat kepada kegunaan persendirian dan pelbagai cukai baru dikenakan.[9] Pemerintah juga mula membezakan keutamaan seseorang berdasarkan bangsa dan kabilah sehingga menyebabkan timbulnya sentimen perkauman di kalangan rakyat.[10]

Pola pemerintahan Dinasti Umayyad ini digambarkan oleh Seyyed Hussien Nasr sebagai:

Dengan tertubuhnya Dinasti Umayyad ini, suatu era baru telah bermula, iaitu lahirnya suatu empayar pemerintahan yang menjangkau dari Asia Tengah hinggalah ke Sepanyol. Mereka sangat-sangat mementing dan mengutamakan kekuasaan serta keluasan empayar walau pada hakikatnya mereka banyak menghadapi masalah pentadbiran dan kewangan dalaman.

Dari segi pentadbiran negara, boleh dikatakan Dinasti Umayyad telah berjaya melakukan suatu usaha yang amat besar lagi berat bagi menjaga wilayah-wilayah dalam empayar mereka. Akan tetapi jika dilihat dari segi nilai-nilai agama, dinasti ini jelas melambangkan kejatuhan dan kemerosotan dari kesyumulan Islam yang wujud sebelum itu.

Mereka (Umayyad) tidak mengambil berat akan penjagaan prinsip dan perlaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah yang empat terdahulu. Mereka lebih mementingkan hal-hal urusan dan pentadbiran empayar dan melihat persoalan agama sebagai sesuatu yang remeh.[11]

Di kalangan pemerintah-pemerintah Dinasti Umayyad, sedikit sahaja yang benar-benar melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pemimpin. Antaranya ialah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz. Beliau memegang jawatan pemerintah dari tahun 717M hingga 720M dan pada zaman inilah wilayah-wilayah Islam dapat hidup di bawah bendera Islam yang sebenar. Akan tetapi era pemerintahan beliau adalah singkat dan selepas itu Dinasti Umayyad kembali ke era kegelapan di bawah pemerintah-pemerintah yang seterusnya.

Para pemerintah Umayyad tidak memberikan perhatian yang besar kepada tuntutan-tuntutan syari‘at Islam di dalam suasana kehidupan mereka, begitu juga terhadap rakyat umumnya. Sebarang teguran daripada para ulama’ ditepis dan sesiapa yang berani menentang dihukum buang negeri. Para ulama’ istana adalah yang dipilih khas bagi menepati hasrat dan tuntutan persendirian sahaja. Pola pemerintahan Dinasti Umayyad yang sedemikian menyebabkan ulama'-ulama' pada ketika itu mula menyisihkan diri daripada istana. Mereka juga lebih cenderung untuk berhijrah ke beberapa wilayah lain yang sudah berada di bawah bendera Islam tetapi masih dahagakan ajaran Islam yang sepenuhnya.

Hampir semua ulama' yang berhijrah ke daerah-daerah baru Islam ini ialah anak-anak murid didikan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga lebih dikenali sebagai gelaran tabi‘in. Adakalanya di beberapa daerah atau wilayah itu muncul ulama' yang kehandalannya berhujah serta berfatwa melebihi daripada kebiasaan. Kepantasan serta kecekapan mereka mengupas persoalan-persoalan agama sangat tepat lagi menyakinkan.

Justeru itu orang ramai mula berkumpul untuk belajar bersama-sama “tokoh baru” ini. Sering kali juga berita kehandalan tokoh baru ini tersebar ke daerah-daerah berdekatan menyebabkan mereka juga datang beramai-ramai untuk belajar sama. Ini berlaku di beberapa daerah dan dengan ini wujudlah suasana pembelajaran fiqh Islam secara berkelompok dan berkumpulan. Suasana sebegini tidaklah dapat dielakkan kerana tidak wujud medium penyampaian pada zaman tersebut yang dapat meluaskan ajaran seseorang tokoh kepada daerah-daerah lain. Suasana ini berterusan sehingga jumlah orang yang ikut belajar semakin banyak. Selari dengan itu, pengaruh tokoh yang mengajar juga semakin berkembang luas.

Akhirnya suasana fiqh Islam telah berubah ke satu era yang baru. Di dalamnya ada kelebihan dan ada kekurangan. Kelebihannya ialah ilmu Islam dapat tersebar dengan lebih meluas meliputi daerah-daerah yang baru. Sebaliknya kita juga dapati fiqh Islam kini berada dalam usaha dan ijtihad perseorangan, tidak lagi secara shura dan ijma' sebagaimana yang wujud pada era para sahabat dan khalifah. Fiqh Islam secara perseorangan ini pula wujud dalam suasana berkelompok atau berkumpulan di sekitar seseorang tokohnya dan ini merupakan noktah permulaan kelahiran mazhab-mazhab Islam. Kota Madinah tidak lagi menjadi pusat ilmu Islam yang ulung melainkan pada beberapa ketika seperti pada musim haji.

Pada permulaan kurun ke 2H/8M, umat Islam sudah mula merasa tidak puas hati kepada pemerintahan Dinasti Umayyad. Suasana ini menimbulkan pemberontakan dan akhirnya dinasti ini dapat dijatuhkan. Peristiwa ini diringkaskan oleh Ensiklopidi Islam (Ind) dalam satu perenggan sebagai:

Pada awal abad ke-8 (102H/720M) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayyad telah tersebar secara intensif. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, iaitu di kalangan muslim bukan Arab (Mawali) yang secara terang-terangan mengeluh akan status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab, kelompok Khawarij dan Shi'ah yang terus menerus memandang Bani Umayad sebagai perampas khalifah, kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah dan Iraq yang sakit hati atas status istimewa penduduk Syria, dan kelompok muslim yang salih baik Arab atau bukan Arab yang memandang keluarga Umayyad telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami. Rasa tidak puas hati ini akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi (coalition) yang didukung oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi s.a.w.[12]

Demikian juga ulas Seyyed Hussein Nasr:

Pada penghujung Era Dinasti Umayyad, orang ramai mula menyedari bahawa kedudukan umat dan negara sudah mulai jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam yang sebenar.

Kesedaran agama di kalangan rakyat, terutamanya golongan Shi'ah yang selama ini sememangnya tidak menerima pemerintahan Umayyad - menyebabkan mereka bangun menentang amalan-amalan pemerintahan Umayyad. Usaha mereka disokong dengan kedatangan pengaruh Abbasid.[13]

Kejatuhan Dinasti Umayyad menyaksikan kelahiran Dinasti Abbasid yang memerintah dari 132H/750M hingga 339H/950M. Pola pemerintahan Abbasid dan Umayyad tidaklah sama di mana Dinasti Abbasid mula memberikan perhatian dan keutamaan kepada Islam terutamanya dari sudut keilmuannya. Dalam era inilah keilmuan Islam kembali bangun dan terus bangun ke tahap ilmiah yang sangat tinggi. Hasbi ash-Shiddieqie rahimahullah menerangkan:

Sebaik sahaja fiqh Islam memasuki era ini, berjalanlah perkembangan-perkembangannya yang cepat menempuh pelbagai lapangan yang luas. Perbahasan-perbahasan ilmiah meningkat tinggi sehingga tasyri' Islam pada masa ini memasuki period kematangan dan kesempurnaan. Para ulama era ini mewariskan kepada para muslimin kekayaan ilmiah yang tidak ada taranya.

Dalam era inilah dibukukan ilmu-ilmu al-Qur'an, ilmu Hadis, ilmu kalam, ilmu lughah dan ilmu fiqh. Dan dalam era inilah juga lahirlah tokoh-tokoh fiqh yang terkenal.[14]

Tokoh-tokoh fiqh yang dimaksudkan ini ialah mereka yang sudah mula terkenal namanya sejak dari era Umayyad lagi sepertimana yang diterangkan sebelum ini. Ketokohan mereka dalam bidang ilmu-ilmu Islam sangat memuncak sehingga orang ramai dari segala pelusuk dunia Islam mulai datang ke daerah mereka untuk menuntut ilmu.

Antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan itu ialah Abu Hanifah (150H/767M) dan Sufyan al-Thawri (160H/777M) di Kufah, al-Auza‘i (157H/774M) di Beirut, al-Layts ibn Sa‘ad (174H/791M) di Mesir dan Malik bin Anas (179H/796M) di Madinah. Kemudian daripada mereka lahir juga tokoh-tokoh lain yang mana mereka ini pula ialah anak murid bagi tokoh-tokoh di atas. Di antara yang dimaksudkan ialah Muhammad bin Idris al-Shafi‘e (204H/820M), Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (241H/855M), Dawud ibn ‘Ali (270H/883M) dan Muhammad ibn Jarir al-Tabari (311H/923M).[15] Ketokohan dan keilmiahan ulama'-ulama' di atas diiktiraf ramai dan gelaran Imam diberikan kepada mereka.

Setiap daripada tokoh-tokoh ini mempunyai ratusan umat Islam yang mengerumuni mereka sebagai punca sumber ilmu pengetahuan. Walaupun setiap dari tokoh-tokoh ini mengajar berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, ada kalanya timbul perbezaan sesama mereka. Perbezaan ini timbul atas sebab-sebab yang sukar untuk dielakkan pada masa era ini seperti berijtihad secara berseorangan, tidak kesampaian sesuatu Hadis yang khusus, berlainan kefahaman terhadap sesuatu nas, kaedah pengambilan hukum yang berbeza dan sebagainya. Perbezaan-perbezaan ini adalah kecil dan insya-Allah akan dihuraikan pada bahagian akan datang.

Perbezaan-perbezaan ini dikatakan sebagai pendapat seseorang tokoh itu dan ia dihubungkan kepada namanya. Sesuatu pendapat inilah yang digelar sebagai Mazhab. (A particular school of thought).

Pada era ini juga ilmu-ilmu Islam mula dibahagikan kepada beberapa jurusan bagi memudahkan seseorang itu mencapai kemahiran di dalamnya seperti ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu bahasa dan sebagainya.

Selain itu ilmu-ilmu di atas juga mula dibukukan secara formal. Antara pembukuan terawal bagi ilmu fiqh Islam ialah Kitab al-Khaaraj oleh Abu Yusuf[16] dan Kitab Al Umm oleh Muhammad Idris al-Shafi‘e. Pembukuan dan penulisan kitab hadis yang terawal juga berlaku pada dalam era ini atas saranan Khalifah Harun al-Rashid.[17] Antara kitab hadis terawal yang diusahakan ialah al-Muwattha’ oleh Malik bin Anas.

Selepas kewafatan tokoh-tokoh di atas, ajaran serta prinsip mereka diteruskan oleh anak-anak murid mereka. Setiap dari mereka cenderung mengajar dan menyampaikan apa yang disampaikan oleh guru mereka dan dengan itu pengaruh mazhab imam mereka makin terserlah di kalangan umat Islam. Oleh kerana itulah kita dapati pada era ini orang ramai di sekitar Madinah dan Mekah banyak berpegang kepada pendapat Malik bin Anas (Mazhab Maliki), orang ramai di sekitar Iraq cenderung pula kepada pendapat Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) dan orang ramai di sekitar Mesir cenderung kepada pendapat al-Layts ibn Sa‘ad.

Suasana kecenderungan kepada satu mazhab semakin menguat apabila pihak pemerintah Dinasti Abbasid mengambil dan mengiktiraf pendapat Abu Hanifah sahaja sebagai mazhab rasmi dunia Islam ketika itu. Suasana ini menimbulkan ketidak-puasan di kalangan orang-orang Madinah, Mesir dan lain-lain. Keadaan ini menjadi lebih tegang apabila pemerintah-pemerintah Abbasid mula mencabar dan menganjurkan perdebatan antara tokoh ilmuan mazhab-mazhab yang berlainan hanya atas tujuan peribadi dan hiburan istana.[18] Perbuatan pemerintah-pemerintah Abbasid ini memburukkan lagi suasana perkelompokan dan persendirian dalam bermazhab di kalangan umat Islam. Abu Ameenah Bilal Philips menerangkan:

Perdebatan-perdebatan ini menimbulkan suasana persaingan dan dogmatisma sesama mereka kerana apabila kalahnya seorang tokoh itu dalam perdebatan ini dia bukan sahaja kehilangan ganjaran wang dari pemerintah tetapi juga kehilangan maruah dirinya.

Lebih dari itu kehilangan maruah diri sangat berhubung-kait dengan kehilangan maruah mazhab seseorang itu. Justeru kita dapati menghujahkan kebenaran atau kebatilan mazhab seseorang itu menjadi agenda utama debat-debat tersebut. Hasilnya, persaingan dan perselisihan makin memanas antara tokoh-tokoh mazhab.[19]

Pada kurun ke 3H/9M, suasana keilmuan Islam bertambah hebat lagi dengan munculnya tokoh-tokoh dan ahli-ahli Hadis seperti Imam Bukhari (256H/870M), Imam Muslim (261H/875M), Imam at-Tirmizi (279H/892M), Imam Abu Daud (275H/889M), Imam An Nasai (303H/915M), Imam Ibnu Majah (273H/887M) dan banyak lagi. Mereka menjihadkan seluruh tenaga, masa dan hayat bagi merantau ratusan kilometer ke seluruh dunia Islam ketika itu untuk mencari, meriwayat, menganalisa, menapis dan membukukan Hadis-Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh ketelitian dan sistematik. Hadis-hadis Rasulullah ditapis dan dianalisa terlebih dahulu dengan ketat sekali sebelum ianya diterima dan diberikan status sahih.[20]

Malangnya pada ketika ini, tokoh-tokoh fiqh yang utama, seperti Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal telahpun meninggal dunia. Ini sedikit-sebanyak ada hubung-kaitnya dengan kesempurnaan pendapat fiqh mereka kerana ada pendapat mereka yang secara tidak sengaja didasarkan kepada hadis yang lemah atau tidak tepat kerana tidak menjumpai hadis yang khusus sebagai dalil.

Permulaan kurun ke 4H/10M menyaksikan Dinasti Abbasid mulai menghadapi era kejatuhannya atas pelbagai masalah dalaman serta luaran. Selepas tahun 339H/950M dunia Islam diperintah oleh beberapa kelompok dinasti-dinasti yang kecil, masing-masing mewakili daerahnya. Pada ketika ini ajaran-ajaran fiqh Islam mula terkumpul sebagai empat ajaran atau empat mazhab, iaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘e dan Mazhab Hanbali. Umat Islam pada kurun ke 4H/10M dan seterusnya mula terikut secara ketat kepada empat mazhab ini.

Pada penghujung hayat Dinasti Abbasid ini juga acara-acara perdebatan sesama tokoh dan mazhab makin memuncak sehinggakan acara ini memperoleh namanya yang tersendiri, iaitu Munaad Haraat. Dengan itu juga semangat persaingan dan pembelaan mazhab makin berleluasa, bukan sahaja kepada tokoh-tokoh yang berdebat tetapi juga kepada orang ramai kerana masing-masing membenarkan tokoh dan menyokong mazhab mereka.[21]

Ini secara tidak langsung menyaksikan secara perlahan-lahan terbinanya tembok-tembok pemisah antara sesebuah mazhab sama ada dari segi ajaran, masyarakat dan geografi. Tembok ini dengan peredaran zaman semakin meninggi dan menebal. Umat Islam mula dibahagikan dan dikategorikan kepada mazhab yang mereka ikuti dan pegangi sehinggakan ahli-ahli ilmu pada zaman ini juga mula mengakhiri nama mereka dengan mazhab yang didokongi masing-masing.

3. Era Ketiga

Selepas kejatuhan Dinasti Abbasid, umat Islam berada dibawah beberapa kelompok kerajaan yang berasingan. Masing-masing mempunyai kaedah pemerintahan yang tersendiri dan masing-masing mempunyai ‘mazhab’ rasmi yang dijadikan sumber rujukan pelaksanaan syari‘at-syari‘at Islam. Pada ketika ini juga, iaitu pada kurun-kurun ‘pertengahan’ , umat Islam keseluruhannya mula mengalami kejatuhan dan kemundurannya berbanding dengan negara-negara non-muslim selainnya.[22]

Banyak faktor yang menyumbang kepada kejatuhan umat Islam pada ketika ini, antaranya ialah:

1. Terlalu leka dengan kejayaan yang dicapai sejak beberapa kurun yang lepas,

2. Ghairah dengan habuan duniawi hingga alpa akan panduan hidup yang diberikan oleh agama,

3. Banyak perselisihan sesama sendiri atas tuntutan duniawi dan berbagai lagi.

Akan tetapi satu faktor yang amat penting yang berhubung-kait dengan mazhab-mazhab Islam yang empat ialah wujudnya ketaksuban mazhab dan lahirnya budaya taqlid, iaitu perbuatan hanya mengikut sesuatu ajaran secara membuta tanpa mengetahui apakah hujah atau alasan di sebaliknya.

Dengan terbahaginya umat Islam kepada beberapa kelompok kerajaan dengan masing-masing mempunyai ‘mazhab rasminya’ tersendiri, suasana bermazhab dalam agama menjadi semakin kuat. Seseorang yang berada dalam sesebuah mazhab hanya dibolehkan mempelajari atau mengikuti mazhabnya sahaja tanpa menjengok atau membanding dengan mazhab yang lain. Di samping itu majoriti umat pula sudah mula

menerima hakikat kewujudan mazhab dan mereka lebih rela mengikuti sahaja satu-satu mazhab yang tertentu tanpa lebih daripada itu. Konsep “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” menjadi cogan kata umat keseluruhannya dan tembok-tembok pemisah antara mazhab menjadi lebih tebal, tinggi dan kukuh.

Para ulama’ juga tidak terlepas daripada belenggu ini. Jika mereka mengeluarkan sesuatu fatwa yang tidak selari dengan tuntutan mazhab rasmi kerajaan atau wilayah mereka, mereka akan dipulau atau dibuang negeri. Ditambah pula, ke negeri mana sekalipun mereka pergi, mereka terpaksa juga akur dengan ajaran mazhab rasminya. Justeru itu para ulama’ sesebuah negara tidak mempunyai banyak pilihan kecuali hanya mengajar dan berfatwa berdasarkan mazhab negaranya, tidak lebih dari itu. Selain itu usaha mereka juga hanya tertumpu kepada pembukuan, peringkasan, penambahan dan penyelarasan ajaran mazhab. Hanya sekali-sekala timbul beberapa ulama’ yang berani melawan arus kebudayaan mazhab ini akan tetapi mereka menghadapi tentangan yang amat sengit dari para pemerintah dan …….. umat Islam sendiri.[23]

Konsep umum “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” ditambah dengan budaya taqlid mazhab, iaitu mengikuti dan mentaati satu-satu ajaran mazhab secara membuta tanpa mengetahui apakah alasan, hujah mahupun dalil yang dikemukakan oleh mazhab tersebut. Dengan wujudnya budaya taqlid ini, fiqh Islam dan sekaligus mazhab-mazhabnya berubah dari sesuatu yang dinamik kepada sesuatu yang statik. Pintu-pintu ijtihad atau daya usaha mengkaji dan menganalisa dihentikan. Maka beralihlah fiqh Islam pada era ini kepada sesuatu yang beku lagi membatu. Ilmu-ilmu Islam tidak lagi bertambah, sebaliknya makin surut dan tenggelam. Fiqh Islam kononnya sudah tidak dapat lagi menjawab persoalan-persoalan baru yang timbul selari dengan tuntutan zaman. Fiqh Islam dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan dan tidak perlu lagi diberi keutamaan dalam suasana zaman terkini.

Dengan meluasnya budaya taqlid ini, kefahaman umat Islam berkenaan agama mereka makin menurun dan merosot. Fiqh Islam hanya tinggal 5 perkara, iaitu wajib, haram, sunat, makruh dan harus. Tanpa mengetahui hujah dan dalil di sebalik ajaran mereka, umat Islam hanya duduk mentaati ajaran mazhab mereka secara membuta. Suasana budaya taqlid tidak hanya terhad kepada bidang fiqh Islam sahaja tetapi ia juga meliputi bidang akidah dan seluruh syari‘at Islam. Paling bahaya ialah dalam bidang akidah di mana umat sendiri sudah tidak tahu lagi apakah ciri-ciri murni akidah Islam yang sebenar dan apakah pula ajaran-ajaran luar yang mencemari akidah mereka sehingga menghampirkan mereka kepada lembah syirik.

Budaya taqlid ini dan kesan buruknya terhadap sejarah umat diterangkan oleh sejarawan Islam: Ibnu Khaldun (808H) rahimahullah:

Para ulama’ menyeru umat Muslimin supaya kembali taqlid kepada imam-imam yang empat. Masing-masing mempunyai imamnya yang tersendiri yang menjadi tempat taqlidnya. Mereka sama sekali tidak berpindah-pindah taqlid kerana yang sedemikian itu bererti mempermainkan agama.

Tak ada yang tertinggal dari dinamisme pemikiran Islam selain usaha menukilkan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang mereka 'anut' , setiap muqallid (orang yang bertaqlid) hanya mempraktikkan ajaran hukum mazhabnya.

Seseorang yang mengakui dirinya melakukan ijtihad tidaklah diakui orang hasil ijtihadnya dan tak seorangpun yang akan bertaqlid kepadanya. Muslimin pada saat ini telah menjadi serombongan manusia yang hanya bertaqlid kepada imam yang empat tersebut. Inilah yang dikatakan orang sekarang sebagai masa kemunduran umat Islam atau pemikiran Islam atau tertutupnya pintu ijtihad. [24]

Walaupun beberapa ketika selepas itu (kurun ke 10H/16M) wujud beberapa kerajaan Islam yang mempunyai kekuatan material dan ketenteraan yang amat hebat sehingga menggerunkan pihak Eropah[25], ini tidak bertahan lama kerana di sebalik kekuatan tersebut tidak ada keutuhan pendirian agama dan pelaksanaannya terhadap tuntutan nilai-nilai manusiawi. Pada waktu yang sama, ada juga yang mula melihat Islam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai masa depan kecuali jika ianya diselaraskan dengan konsep dan ideologi Barat.

Beberapa kerajaan Islam ketika itu mula mengimport dan melaksanakan budaya serta ideologi Barat ke dalam kerajaan dan wilayah-wilayah Islam di bawah kawalan mereka. Suasana ini lebih memburukkan: Islam makin tertolak ke belakang dan ideologi lain diletakkan di hadapan. Ini mereka lakukan atas fahaman bahawa ilmu-ilmu Islam ini hanyalah sebagai apa yang termaktub dalam ajaran mazhab dan ajaran mazhab itu pula jauh ditinggalkan oleh kemajuan zaman.

Era ini berjalan terus dengan nasib umat Islam yang sedemikian, iaitu Islam bermazhab, masing-masing bertaqlid kepada mazhab masing-masing ditambah dengan pelbagai ideologi luar yang digunakan sebagai selingan, bahkan gantian kepada ajaran Islam yang asal.

4. Era Keempat

Pada kurun ke 11H/17M dan 12H/18M, negara-negara Eropah mula mengalami revolusi pembaharuan, kemajuan dan perindustrian. Negara-negara Eropah mula menjajah dan menakluk negara-negara Islam dengan meluaskan pengaruh, agama, ideologi dan adat mereka.[26] Suasana ini mula menyedar dan membangkitkan umat Islam akan hakikat kedudukan mereka yang sebenar. Umat Islam, sekalipun sudah agak terlambat, mula menyedari akan kemunduran mereka dan bahaya yang akan mereka hadapi jika mereka tidak mengubah sikap dan fikiran.

Huzaemah Tahido menerangkan:

Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1215H/1801M telah membuka mata dunia Islam dan menyedarkan para penguasa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan kekuatan Barat.

Para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan perimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan bagi umat Islam. Hubungan dengan Barat inilah yang menimbulkan pemikiran dan kefahaman ‘pembaharuan’ dan ‘modernisasi’ di kalangan umat Islam.

Bagaimanakah memajukan kembali umat Islam seperti masa klasiknya ? Pertanyaan ini terjawab dengan membebaskan kembali pemikiran dari kebekuannya selama ini. Dengan membebaskan kembali pemikiran, ijtihad kembali bergerak. [27]

Kurun ke 12H/18M dan 13H/19M menyaksikan beberapa gerakan dan revolusi muncul di beberapa bahagian dunia Islam bagi menghapuskan ketaksuban mazhab dan taqlid, meruntuhkan tembok-tembok pemisah mazhab dan membangkitkan semula umat Islam dari tidur sekian lama. Fiqh Islam dan sekaligus syari‘atnya digerakkan semula, kesedaran umat Islam terhadap agama mereka dibangkitkan semula dan semangat Islam maju umat maju dilaungkan kembali.

Antara mereka yang berani lagi gigih membangunkan Islam dari tidurnya ialah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1206H/1792M) di Semenanjung Arab; Jamal al-Din al-Afghani (1314H/1897M), Muhammad Abduh (1322H/1905M), Rashid Ridha (1353H/1935M) dan Hasan al Banna (1368H/1949M) di Mesir, Ahmad Khan (1308H/1891M) di India dan Abu A'la Mawdudi (1399H/1979M) di Pakistan.

Selain itu banyak lagi individu lain yang muncul membangunkan semula Islam di benua-benua lain termasuk Asia Tenggara. Walaupun setiap dari mereka mempunyai nama gerakan yang tersendiri, objektifnya tetap sama iaitu memajukan semula Islam berdasarkan pengkajian semula ilmu-ilmu Islam (ijtihad), menolak ikutan buta tanpa ilmu (taqlid) dan mendalami ilmu-ilmu duniawi seperti sains, perekonomian dan sebagainya.

Mereka menekankan bahawa untuk umat Islam bangkit maju semula, mereka wajib mempunyai kepakaran dalam kedua-dua bidang ilmu, iaitu ilmu agama dan ilmu duniawi kerana sememang pada asalnya kedua-dua ilmu ini adalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Antara ilmu agama dan ilmu duniawi, ianya saling bantu-membantu, sokong-menyokong; jika ada yang bertentangan maka itu adalah kerana kurangnya pengetahuan manusia tentang salah satu daripadanya.[28]

Usaha pembangunan semula umat masih diperjuangkan hingga ke hari buku ini diusahakan. Tokoh-tokoh agama serata dunia Islam mulai sedar akan kepentingan pengkajian semula ilmu-ilmu Islam, menghindarkan ketaksuban mazhab, mengecam taqlid buta, membuka pintu-pintu ijtihad dan pelbagai lagi. Kitab-kitab tafsir, hadis, fiqh dan pelbagai lagi sumber ilmu Islam tanpa mengira mazhab mula diterjemah agar ia dapat dikuasai oleh umat yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Seminar, persidangan dan lain-lain dianjurkan tanpa henti-henti.

Akan tetapi usaha yang dilakukan ini masih kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mahu berusaha atau yang menentang terus ijtihadiah sezaman begini. Masih ramai umat dan tokoh semasa yang terlalu taksub kepada mazhab sehingga amat berat untuk bertoleransi dengan usaha pembaharuan ini. Tidak kurang juga yang sudah terlalu terpengaruh dengan kebudayaan Barat sehinggakan dirasanya Islam ini, mazhab atau tanpa mazhab, sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Islam menurut mereka hanyalah suatu agama persendirian yang diamalkan di rumah sahaja oleh sesiapa yang mengingininya. Golongan-golongan sebeginilah yang sebenarnya menjadi penghalang kepada kemajuan Islam dan golongan-golongan sebeginilah yang perlu ditangani dan dirundingi segera.[29]

Demikianlah secara ringkas sejarah pertumbuhan dan perkembangan mazhab-mazhab fiqh Islam. Sememangnya pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khalifah al-Rashidun tidak wujud sebarang mazhab-mazhab Islam. Hanya dengan sebab-sebab sejarah dan politik, barulah muncul mazhab-mazhab ini sebagaimana yang telah dihuraikan di atas. Bagi memantapkan kefahaman, berikut dihuraikan faktor-faktor penyebab bagi munculnya mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat:

· Pola pemerintahan Umayyad yang tidak akur dan patuh kepada tunjuk ajar para ulama’ yang wujud ketika itu. Malah ulama’-ulama’ yang berani menegur pemerintah, diancam atau ditangkap. Ini menyebabkan ulama’-ulama’ era ini menyisihkan diri mereka dari suasana istana berhijrah ke daerah-daerah lain. Hal ini menyebabkan tidak mungkin berlakunya pencarian dan pencapaian kesepakatan (ijma’) dalam apa-apa persoalan agama. Selain itu pertukaran dan perbandingan ilmu sesama ulama’ tidak lagi terjadi sebagaimana pada zaman sebelum pemerintahan Umayyad.

· Wilayah Islam sudah semakin luas menyebabkan lahirnya generasi umat Islam yang baru yang menginginkan penjelasan agama terhadap persoalan yang khusus kepada mereka. Oleh kerana Kerajaan Umayyad tidak mengambil peduli akan persoalan agama dan rakyat, maka usaha ini jatuh ke tangan ulama’-ulama’ secara persendirian.

· Tidak wujud sebarang sistem komunikasi atau media yang canggih pada zaman ini bagi membolehkan para ulama’ di pelbagai daerah berunding sesama mereka. Oleh itu para ulama’ era ini terpaksa berusaha secara sendirian dalam menghadapi persoalan-persoalan agama. Mereka menafsir al-Qur’an mengikut kemampuan ilmu yang sedia ada dan berusaha mengeluarkan hukum mengikut sejumlah hadis yang sedia diketahuinya.

· Dalam suasana ini timbul beberapa ulama’ yang tinggi ilmunya lagi cekap dalam mengupas dan mengolah persoalan agama. Kehebatannya di satu-satu daerah menyebabkan orang ramai mula berkumpul untuk belajar bersamanya. Berita kehebatannya mula tersebar ke daerah berdekatan menyebabkan orang ramai mula bertumpu kepadanya sebagai sumber rujukan ilmu agama.

· Perpindahan kerajaan kepada Dinasti Abbasid melihatkan perkembangan ilmu-ilmu Islam secara pesat. Pada era ini juga kehandalan beberapa tokoh persendirian tersebut semakin terserlah. Antara yang paling hebat dan masyhur ialah Malik bin Anas di Madinah, Abu Hanifah di Kufah, al-Syafi‘e di Yaman dan Mesir serta Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Pendapat serta ajaran mereka digelar mazhab dan dari sinilah bermulanya Mazhab Maliki, Hanafi, al-Syafi‘e dan Hanbali.

· Ajaran Abu Hanifah atau mazhabnya diangkat menjadi mazhab rasmi oleh Kerajaan Abbasid. Pemerintah-pemerintah Abbasid.

======================================
sumber :
Pedoman-Pedoman Bermazhab Dalam Islam
Hafiz Firdaus
Selengkapnya...

Kata Pengantar

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya dan kami memohon pertolongan-Nya dan kami memohon keampunan-Nya, dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri kami dan dari keburukan perbuatan kami. Sesiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tiadalah kesesatan baginya dan sesiapa yang disesatkan oleh Allah maka tiadalah petunjuk baginya. Kami bersaksi bahawa tiada tuhan kecuali Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan kami bersaksi bahawa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.

Pengenalan ringkas

Semua umat Islam bermazhab akan tetapi hanya sebilangan kecil daripada mereka yang tahu cara dan syarat bermazhab. Insya-Allah buku ini akan membahas cara-cara bermazhab, bermula dari sejarah kelahiran mazhab sehinggalah ke peranan mazhab kepada umat Islam pada zaman kematangan ilmu masa kini.

Buku ini sebenarnya merupakan edisi baru yang dikemas kini daripada edisi lama yang telah ada di pasaran sejak tahun 2000M.

Kepentingan Subjek “Pedoman-pedoman Bermazhab”

Menyebut berkenaan mazhab, umumnya umat Islam terbahagi kepada 3 kelompok:

1. Mereka yang berkata semua umat Islam wajib bermazhab dan setiap individu Muslim wajib berpegang kepada satu mazhab sahaja.

2. Mereka yang berkata semua umat Islam haram bermazhab. Setiap individu Muslim wajib berpegang kepada al-Qur’an dan al-Sunnah sahaja.

3. Mereka yang berkata hukum bermazhab bergantung kepada kemampuan ilmu seseorang. Jika dia mampu merujuk secara terus kepada sumber al-Qur’an dan al-Sunnah maka dia tidak wajib bermazhab. Sebaliknya jika tidak mampu maka dia wajib bermazhab kerana peranan mazhab ialah memudahkan rujukan orang awam kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.

Kewujudan 3 kelompok ini menjadi faktor utama penulis mengusahakan buku ini. Yang benar ialah pendapat yang ketiga dan insya-Allah buku ini akan membahas dan meluaskan lagi pendapat tersebut. Pada waktu yang sama akan dijelaskan di mana salah silapnya pendapat yang pertama dan kedua.

Selain itu antara sebab penulis memberi perhatian kepada subjek mazhab ialah kerana sebahagian besar umat Islam tidak tahu apakah faktor yang menyebabkan wujudnya 4 mazhab fiqh Islam dan bagaimana seharusnya mereka berinteraksi dengannya. Hal ini mengarah kepada beberapa persoalan lain seperti:

1. Jika sumber rujukan adalah satu, iaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, maka kenapakah ada 4 mazhab?

2. Mazhab manakah yang paling benar?

3. Apakah yang harus dilakukan apabila hidup dan beribadah bersama umat Islam yang berlainan mazhab?

4. Bolehkan seseorang itu berpindah-pindah mazhab?

5. Bolehkan seseorang itu dalam sebahagian perkara mengikut mazhab A manakala dalam sebahagian perkara lain mengikut mazhab?

Insya-Allah persoalan-persoalan ini dan banyak lagi yang seumpama akan dijawab di dalam buku ini.

Yang baru di dalam “Edisi Baru” ini

Sepertimana yang disebut di atas, buku ini sebenarnya merupakan edisi baru yang dikemas kini daripada edisi lama yang telah ada di pasaran sejak tahun 2000M. Kemaskini yang dimaksudkan adalah:

1. Dimasukkan teks Arab bagi ayat al-Qur’an dan Hadis. Ayat al-Qur’an resam Uthmani disalin terus (copy & paste) dari edisi cdrom al-Mushaf v1.0 keluaran Harf Information Technologies, Kaherah (www.harf.com)

2. Dijelaskan darjat kekuatan hadis (sahih, hasan, dha‘if) serta sumber periwayatannya bagi hadis-hadis yang dikemukakan. Hadis-hadis daripada kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah sahih dengan sendirinya manakala hadis-hadis daripada kitab yang lain dirujuk darjat kekuatannya kepada penilaian para ahli hadis yang diiktiraf.

3. Beberapa penjelasan yang dirasakan tidak perlu dikeluarkan agar perbincangan bersifat lebih fokus dan memudahkan.

4. Pada waktu yang sama beberapa penambahan dilakukan sama ada dalam bentuk dalil atau penjelasan bertujuan menambah kekuatan hujah.

5. Kaedah penyampaian diperbaiki supaya lebih memudahkan pembacaan, kajian dan pemahaman.

Harapan dan Penghargaan

Dipanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala agar buku ini dapat membawa manfaat yang besar kepada para pembaca. Dialu-alukan juga maklum balas yang sewajarnya daripada para pembaca yang budiman terhadap sebarang perbezaan pendapat, kesilapan atau ketidak-tepatan di dalam buku ini.

Pada waktu yang sama diucapkan ribuan terima kasih kepada para pembaca edisi sebelum ini yang telah memberi pelbagai maklumbalas yang membina. Terima kasih juga diucapkan kepada isteri, Maryati Mat Nasir dan rakan-rakan yang telah menyemak dan memberi kata dua kepada edisi baru ini, khasnya Mohd. Fikri Alamghiri, Mohd. Khairul Muhamed dan Mohd. Yaakub Mohd. Yunus. Semoga Allah membalas dengan apa yang lebih baik di dunia dan akhirat, amin.

Sekian, Assalamualaikum waRahmatullah waBarakatuh.

================
sumber :
Hafiz Firdaus Abdullah
www.al-firdaus.com

Selengkapnya...

19 November 2009

ulumul quran

TAFSIR, TAKWIL DAN TERJEMAH

A. Pengertian Tafsir, Takwil, dan Terjemah
Menurut bahasa, tafsir berarti keterangan, uraian. Menurut istilah, tafsir berarti ilmu mengenai cara pengucapan lafal-lafal Al-Quran serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hokum dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.


Menurut bahasa, takwil berarti menerangkan, menjelaskan. Menurut istilah, takwil berarti mengembalikan sesuatu kepada hgayahnya (tujuannya), yakni menerangkan apa yang dimaksud.

Menurut bahasa, terjemah berarti salinan, mengganti, menyalin dan memindahkan. Sedang menurut istilah terjemah berarti menyalin atau memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.

Pada dasarnya ada tiga corak penerjemahan, yaitu :
1. Terjemah maknawiyah tafsiriyah, yaitu menerangkan makna/kalimat dan mensyarahkannya, namun tidak terikat oleh leterleknya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat aslinya.
2. Terjemah harfiyah bil mitsli, yaitu menyalin/mengganti kata-kata bahasa asli dengan kata sinonimnya (muradif-nya) kedalam bahasa baru dan terikat oleh bahasa aslinya.
3. Terjemah harfiyah bidunil mitsli, yaitu menyalin/mengganti kata-kata bahasa asli ke bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan penerjemahnya.

B. Perbedaan Tafsir, takwil dan terjemah
Tafsir dan takwil berupaya menjelaskan makna setiap kata di dalam Al-Quran, sedang terjemah hanya mengalihkan bahasa Al-Quran yang asalnya berasal dari bahasa Arab ke dalam bahasa non Arab.

Perbedaan tafsir dan takwil antara lain :

Tafsir
1. Lebih umum dan banyak digunakan untuk lafal dan kosakata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab lainnya.
2. Menerangkan makna lafal yang tak menerima selain dari satu arti.
3. Menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menerapkan seperti yang dikehendaki Allah.
4. Menerangkan makna lafal, baik berupa hakikat/majaz.

Takwil
1. Lebih banyak digunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah saja.
2. Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafal yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
3. Menyeleksi salah satu makna yang diterima ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah.
4. Menafsirkan batin lafal.

C. Klasifikasi Tafsir
1. Tafsir bil Ma’tsur adalah penafsiran Al-Quran yang mendasarkan pada penjelasan Al-Quran, para sahabat melalui ijtihadnya dan aqwal tabi’in. Sumber penafsiran bil ma’tsur ada empat, yaitu :
1) Al-Quran
2) Hadis Nabi
3) Penjelasan sahabat
4) Penjelasan tabi’in

Dalam pertumbuhannya tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu :
1) Periode 1, yaitu masa nabi, sahabat, dan permualaan tabi’in tafsir belum ditulis.
2) Periode 2, yaitu bermula dengan pengkodifikasian hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz (95-101).
3) Periode 3, yaitu penyusunan kitab tafsir bil ma’tsur.

Kitab-kitab yang bercorak bil ma’tsur diantaranya :
1) Jami’ul Bayan fi Tafsiril Quran karya Ibnu Jarir At-Tabari (w.310/923)
2) Anwarut Tanzil karya Al-Baidhawi (w.685/1286)
3) Ad-Durrul Mantsur Fit Tafsir bil Ma’tsur karya Jalal Ad-Din As-Suyuti (w.911/1505)
4) Tanwirul Miqbas Fi Tafsir Ibnu Abbas karya Fairuz Zabadi (w.817/1414)
5) Tafsirul Quranul ‘Adzim karya Ibnu Katsir (w.774/1373)

Keistimewaan tafsir bil ma’tsur antara lain :
1) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran
2) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
3) Mengikat mufasir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.

Kelemahan tafsir bil ma’tsur antara lain :
1) Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir
2) Masuknya unsur israiliyat (unsur Yahudi dan Nasrani kedalam penafsiran Al-Quran)
3) Penghilangan sanad
4) Mufasir terjerumus dalam uraian kebahasan/sastra hingga pokok Al-Quran tidak jelas
5) Konteks asbabun nuzul ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian (nasikh mansukh)

2. Tafsir bir Ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasirin yang telah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hokum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbabun nuzul, nasikh mansukh dll.

Ulama berbeda pendapat tentang keabsahan tafsir bir Ra’yi, yaitu :
1. Kelompok yang melarang, alasannya :
1) Membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan
2) Yang berhak menjelaskan hanya Nabi
3) Adanya tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Quran

2. Kelompok yang mengizinkan, alasannya :
1) Seruan mendalami kandungan Al-Quran
2) Bila tafsir bir ra’yi dilarang, kenapa ijtihad dibolehkan.
3) Sering berselisih pendapat mengenai penafsiran ayat
4) Rasul mendoakan Ibnu Abbas agar paham terhadap agama.

Corak Tafsir Bir Ra’yi dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Bir ra’yi yang diterima, syaratnya :
1) Tidak memaksakan diri untuk mengetahui makna
2) Tidak menafsirkan ayat yang maknanya otoritas Allah
3) Tidak menafsirkan dengan hawa nafsu
4) Tidak menafsirkan untuk mendukung suatu mazhab
5) Tidak menafirkan inilah maksud ayat ini

Kitab-kitab yang bercorak Bir Ra’yi diantaranya :
1) Mafatihul Gaib karya Fakhrur Razi (w. 606 H)
2) Anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil karya Al-Baidhawi (w.691 H)
3) Madarikut Tanzil wa Haqa’iqut Takwil karya An-Nasafi (w. 701 H)
4) Lubabut Takwil fi Ma’anit Tanzil karya Al-Khazin (w. 741 H)

2. Bir ra’yi ditolak

Selengkapnya...

ulumul quran

MU’JIYAT AL-QURAN

A. Pengertian Dan Macam-macam Mu’jizat
Menurut bahasa, mu’jizat berarti melemahkan/menjadikan tidak mampu. Sedang menurut istilah, mu’jizat berarti suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan dan tidak akan dapat ditandingi.
Unsur-unsur mu’jizat, yaitu :
1. Peristiwa luar biasa
2. Terjadi pada seorang Nabi
3. Mengandung tantangan terhadap yang meragujan kenabian
4. Tantangan tidak mampu dilayani

B. Segi-segi Kemu’jizatan Al-Quran
1. Gaya bahasa
2. Susunan kalimat
3. Hukum Illahi yang sempurna (dua cara dalam menetapkan hokum : secara global dan terperinci)
4. Ketelitian redaksinya
5. Berita tentang hal-hal yang gaib
6. Isyarat-isyarat ilmiah

Beberapa pendapat ulama tentang segi-segi kemu’jizatan Al-Quran :
1. Pada susunan lafalnya saja.
2. Pada keilmiahannya
3. Pada uslubnya
4. Pada keindahan bahasa dan uslub-uslubnya, berisi beberapa ilmu pengetahuan, memenuhi semua hajat manusia, adanya berita gaib dll.

Selengkapnya...

ulumul quran

QIRA’AT AL-QURAN

A. Pengertian
Menurut bahasa, qiraat berarti bacaan/cara membaca. Sedang menurut istilah, qiraat berarti pengetahuan tentang cara membaca/melafalkan kata/kalimat yang terdapt di dalam Al-Quran yang punya aturan sendiri. Qiraat yang terkenal adalah qiraat sab’ah (bacaan tujuh) yang disandarkan kepada imam qiraat yang tujuh. Mereka berbeda dalam melafalkan ayat, perihal tafkhim, tarqiq imalah, idgam, izhar, isyba’, mad, qasar, tasydid, takhfif dll. Ketujuh imam itu adalah :

1. Nafi’ bin Nu’aim
2. Abdullah bin Katsir Al-maliki
3. Abu Amr bin Ala
4. Abdullah bin Amir
5. Asim Al-Asad
6. Hamzah Al-Kufi
7. Al-Kisai Al-Farisi

Contoh kalimat sab’ah adalah :
1. Maaliki dalam surah Al-Fatihah : maa dibaca panjang dan ma di baca pendek.
2. Shiraata dalam surah Al-Fatihah : shaa dibaca si dan shaa tetep dibaca shaa.
3. ‘alaihim dalam surah Al-Fatihah : ha dibaca kasrah dan mim dibaca dummah dan ha dibaca kasrah dan mim dibaca sukun.
4. Kufuwan dalam surah Al-Ikhlas : dibaca kaf-an (fa’ disukun dan wau diganti hamzah, kafuwu(dummah), dan kufuwa (wau dibaca fathah).

B. Latar belakang Timbulnya Qira’at
Pada masa Utsman berkuasa (653 M) terjadilah perbedaan yang serius diantara sesame umat Islam dalam cara membaca Al-Quran yang benar. Untuk menyamakan bacaan, maka Utsman berinisiatip mengadakan dan mengirimkan Al-Quran keberbagai daerah, yaitu mushaf Utsman. Maka bermuncullah para qiraat yang ahli dalam membaca Al-Quran di daerah masing-masing dan dijadikan panutan.
Di Madinah seperti : Ibnu Musayyab, Urwah, Salim Az-Zuhri, ‘Atha’ dan Zaid bin Aslam.
Di Makkah seperti seperti : Ubaid bin Amr, Mujahid,
Di Kufah seperti : Alqamah, Masruq, Said bin Jubairi, Nakhai.
Di Bashrah seperti : Abu Aliyyah, Abu Rajah, Ibnu Sirin.
Di Syam seperti : Mughirah, Khalifah bin Said, Abu Darda.

C. Urgensi mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam Istimbat (Penetapan Hukum)
1. Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
2. Mentarjih hokum yang diperselisihkan para ulama.
3. Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda.
4. Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
5. Menjelaskan kata yang sulit dipahami maknanya.

Selengkapnya...

ulumul quran

AL-MUHKAM DAN MUTASYABIH

A. Pengertian
Menurut bahasa, muhkam berarti melarang, menyempurnakan dan membaguskan sesuatu.
Menurut bahasa, mutasyabih berarti serupa, keraguan, kemiripan/kebingungan.

Menurut istilah, As-Suyuti dan Az-Zarqani berbeda pendapat tentang muhkam dan mutasyabih.

Muhkam :
1. Kalimat yang memberikan makna yang ejlas.
2. Tidak mungkin ditakwilkan
3. Sesuatu yang kokoh/bundar tidak bersegi
4. Sesuatu yang menghapus/nasikh
5. Sesuatu yang bias dijangkau akal
6. Berkenaan dengan faraid, janji dan ancaman Tuhan.

Mutasyabih :
1. Makna tidak jelas
2. Sesuatu yang dihapus/mansukh
3. Pengertian lebih dari satu
4. Tidak bias berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan lain.

B. Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Perbedaan itu muncul dari pemahaman mereka terhadap firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7. Sebagian ulama, terutama ulama salaf berpendapat bahwa mutasyabih itu tidak dapat diketahui kecuali hanya Allah, dalam hal ini, mereka mencoba mengembalikan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat-ayat muhkam.
Al-raghib Al-Ashfahani berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih terbagi menjadi tiga (3) bagian, yaitu :
1. Ayat yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, hanya Allah sendiri yang mengetahuinya, seperti hari kiamat dan alam gaib.
2. Ayat yang berkaitan dengan hukum/bahasa
3. Ayat yang hanya diketahui oleh ulama-ulama tertentu sudah mendalami ilmu ayat.

C. Fawatihus Suwar
Fawatihus suwar artinya pembukaan surah-surah.
Fawatihus suwar dapat dikategorikan kepada beberapa bentuk, yaitu :
1. Bentuk yang terdiri dari satu huruf (sad, qaf dan nun).
2. Bentuk yang terdiri dari dua huruf (yasin, tasin, taha, dan hamim).
3. Pembukaan surah yang terdiri dari tiga huruf (alif lam mim, alif lam ra’, dan ta sin mim)
4. Pembukaan surah yang terdiri dari empat huruf (alif lam mim sad, alif lam mim ra’)
5. Pembukaan surah yang terdiri dari lima huruf (kaf ha ya ‘ain sad).

Pendapat Para ulama tentang Fawatihus Suwar
Fawatihus suwar termasuk ayat-ayat mutasyabih, maka ulama berbeda pendapat, ada dua pendapat, yaitu :
1. Ulama memahaminya sebagai rahasia yang hanya diketahui oleh Allah
2. Ulama memahaminya bahwa huruf-huruf itu bisa dipahami oleh manusia.

D. Hikmah Adanya Ayat-ayat Mutasyabihat
1. Berupaya lebih banyak untuk mengungkap maksud ayat sehingga berpahala.
2. Bermunculan banyak mazhab dan setiap mazhab akan selalu berusaha menggali ayat-ayat mutasyabih.
3. Memunculkan banyak disilin ilmu seperti ilmu bahasa, gramatika, ma’ani, bayan dan usul fikih dll untuk menggali ayat-ayat mutasyabihat.

Selengkapnya...

ulumul quran

MAKIYYAH DAN MADANIYYAH

A. Pengertian
Makiyah adalah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, walaupun bukan turun di Makah. Madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, walaupun bukan turun di Madinah.

B. Klasifikasi Ayat Dan Surat-surah Al-Quran
Ada tiga (3) pendapat tentang definisi Makiyah dan Madaniyah dikalangan ulama, yaitu :
1. Dari sudut masa
Makiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah, walaupun turunnya diluar wilayah Makkah, sedangkan Madaniyah adalah ayat yang diturunkan setelah hijrah, walaupun turunnya di Makkah.
2. Dari sudut tempat turunnya ayat
Makiyah adalah ayat-ayat yang turun di kota Makkah, meskipun Nabi sudah hijrah ke Madinah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan kota-kota lain disekitarnya.
3. Dari sudut makhattab / orang yang dituju
Ayat Makiyah adalah kitabnya tertuju kepada penduduk Makkah sedangkan Madaniyah kitabnya tertuju kepada penduduk Madaniyah.

C. Ciri-ciri Khas Ayat-ayat Makiyah Dan Madaniyah
Menurut Al-Jabari, metode untuk mengetahui ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, yaitu :
1. Naqli sama’I (kutipan kisah)
2. Qiyas ijtihadi

Karakteristik (cirri khas) ayat Makiyah :
1. Menyeru kepada tauhid
2. Peringatan dan ancaman dari syirik
3. Seruan kepada hari akhir dan kebangkitan manusia dari kuburnya
4. Berisi tantangan terhadap orang Arab untuk membuat sebuah surat seperti apa yang terdapat dalam Al-Quran
5. Kisah-kisah pendusta yang telah lalu
6. Jihad terhadap kaum musyrik

Karakteristik (cirri khas) Ayat Madaniyah :
1. Seruan jihad di jalan Allah
2. Penjelasan tentang jaminan hokum-hukum islam, seperti riba dll
3. Penjelasan mengenai hokum had, seperti zina, mencuri dan dll
4. Membongkar aib kaum kafir
5. Membungkam ocehan ahli kitab dan bangsa Yunani

D. Kegunaan Mempelajarinya
1. Membantu ahli tafsir dalam menafsirkan Al-Quran
2. Menghayati uslub-uslub Al-Quran dan mengambil faedahnya untuk berdakwah
3. Mempelajari perjalanan sejarah dari sela-sela ayat Al-Quran
4. Mengetahui kebenaranan yang fundamental tentang misi Al-Quran diturunkan.
5. Menurut Ibnu Taimiyah, ayat Makiyah berisi seruan tabah, sabar terhadap gangguan kaum kafir, sedang ayat Madaniyah berisi seruan jihad, sangat cocok ketika kondisi umat Islam sudah kuat.

Selengkapnya...

ulumul quran

MUNASABAH AL-QURAN

A. Pengertian Munasabah
Menurut bahasa, munasabah berarti keserupaan, kedekatan. Sedang menurut istilah, munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat /antar surat, baik korelasi bersifat umum atau khusus, rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), imajinasi )khayali), korelasi berupa sebab akibat, illat dan a’lul, perbandingan dan perlawanan.

B. Macam- macam Munasabah
1. Munasabah antara surat dengan surat sebelumya.
2. Munasabah antara nama surah dengan kandungannya.
3. Munasabah antara bagian suatu surat.
4. Munasabah antara ayat yang berdampingan.
5. Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya.
6. Munasabah antara fashilah(pemisah) dengan isi ayat.
7. Munasabah antara awal surat dengan akhir surat yang sama.
8. Munasabah antara penutup suatu surat dengan awal surat sebelumnya.


Macam-macam Munasabah antara ayat yang berdampingan
1. Jelas, misalnya ta’kid, tafsir, I’tiradh, dan tasydid.
2. Tidak jelas, misalnya tanzhir, mudharat, istithrad, dan takhlallush.

C. Urgensi Dan Kegunaan Mempelajari Munasabah
Munasabah sangat berperan dalam memahami Al-Quran. Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada asbabun nuzul, maka yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah. Kegunaan munasabah diantaranya :
1. Dapat membantah sebagian anggapan bahwa tema-tema Al-Quran kehilangan relevansi antara satu bagian dengan bagian yang lain.
2. Bagi mufassirin untuk menggali dan menfsirkan ayat-ayat Al-Quran.
3. Memahami makna yang mendalam tentang ayat-ayat Al-Quran.

Selengkapnya...

ulumul quran

ASBABUN NUZUL

A. Pengertian Asbabun Nuzul
Menurut bahasa, asbabun nuzul berarti sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sedang menurut istilah, asbabun nuzul berarti sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat itu akan member jawaban terhadap sebab itu atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut/ sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran, sebab itu berbentuk peristiwa atau berbentuk pertanyaan.

Sebab-sebab turun ayat dalam bentuk peristiwa ada tiga (3) macam, yaitu :
1) Berupa pertengkaran
2) Berupa kesalahan serius
3) Berupa cita-cita dan keinginan

Sebab-sebab turun ayat dalam bentuk pertanyaan ada tiga (3) macam, yaitu :
1) Berhubungan dengan peristiwa masa lalu
2) Berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu
3) Berhubungan dengan masa yang akan dating

B. Macam-macam Asbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun dibagi dua, yaitu :
1. Ta’addud Al-Asbab wa Al-Nazil Wahid (sebab-sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat / sekelompok ayat yang turun satu.
2. Ta’addud Al-Nazil wa Al-Sabab Wahid (persoalan yang terkandung dalam ayat / sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu.

Jika ditemukan dua riwayat/lebih tentang sebab turunnya ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka kedua riwayat diteliti dan dianalisa. Permasalahannya ada 4 bentuk :
1. Satu sahih satu tidak, maka dipilih riwayat yang sahih dan menolak yang tidak sahih.
2. Keduanya sahih tapi salah satu punya penguat(murajih), maka dipilih yang punya penguat.
3. Keduanya sahih dan tidak punya penguat, tapi keduanya dapat diambil sekaligus, maka penyelesaiannya dengan mengganggap banyaknya sebab turunnya ayat.
4. Keduanya sahih, tidak punya penguat dan tidak diambil semuanya karena waktu peristiwanya jauh berrbeda, maka penyelesaiannya dengan mengganggap berulang-ulang ayat itu turun sebanyak asbabun nuzulnya.

C. Ungkapan-ungkapan Asbabun Nuzul
1. Disebutkan dengan ungkapan jelas
2. Tidak ditunjukkan dengan lafal sabab tapi mendatangkan lafal fa yang masuk kepada ayat di maksud secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa/kejadian.
3. Dipahami secara pasti dari konteksnya.
4. Tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas, tidak dengan mendatangkan fa yang menunjukkan sebab.


D. Urgensi dan Kegunaan Asbabun Nuzul
Mempelajari dan mengetahui asbabun nuzul bagi turunnya Al-Quran sangat penting terutama dalam memahami ayat-ayat yang menyangkut hukum.
Kegunaan mengetahui asbabun Nuzul, yaitu :
1. Mengetahui rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyariatkan Agama-Nya melalui Al-Quran.
2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitan.
3. Dapat menolak dugaan adanya hasr (pembatasan) dalam ayat yang menurut lainnya mengandung hasr (pembatasan).
4. Dapat mengkhususkan (takhsis) hukum pada sebab.
5. Mempermudah orang menghafal ayat-ayat Al-Quran serta memperkuat keberadaan wahyu dan ingatan orang-orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.

Selengkapnya...

11 November 2009

ulumul quran

SEJARAH TURUNNYA DAN PENULISANNYA

A. Pengertian Al-Quran
Menurut bahasa, Quran dan qiraat, artinya menghimpun dan memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagaian lainnya. Sedang menurut istilah Al-Quran, quran dan qiraat artinya lafal yang diturunkan kepada Nambi Muhammad, mulai dari surah Al-Fatihah dan di akhiri surah An-nas.

Menurut Ulama, Al-Quran adalah kalam yang bersifat mu’jiyat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang ditulis dalam mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir dan membacanya ibadah.

B. Hikmah Diturunkannya Al-Quran Secara Berangsur-angsur

1. Meneguhkan dan menguatkan hati /jiwa Nabi Muhammad.
2. Membimbing dan membina umat Nabi Muhammad dalam melaksanakan syariat Islam.
3. Sebagai jawaban terhadap masalah / kasus tertentu.
4. Kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pentahapan dalam penetapan hokum.
5. Bukti bakwa Al-Quran diturunkan dari Allah.

C. Penulisan Al-Quran Pada Nabi

Rasulullah mengangkat para sahabatnya (Ali, Mu’awiyah, ‘Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit) untuk menulis bila wahyu turun. Mereka menulis tempat dan ayatnya di lembaran kulit, pelepah kurma, daun dsb bila ayat turun sehingga membantu penghafaln di dalam hati. Mereka juga berinisiatif sendiri menulis ayat yang turun.

Al-Quran banyak dihafal para sahabatnya tetapi belum ditulis dalam satu mushaf. Ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf belum dikumpulkan dalam satu mushaf. Waktu itu ayat-ayat belum dibukukan dalam satu mushaf karena nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.

Dengan wafatnya Nabi Muhammad, maka wahyu tidak turun lagi. Maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafa’ur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya akan menjaga dan memelihara Al-Quran. Pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar bin Khatab. Pengumpulan Al-Quran di masa Nabi Muhammad dinamakan : penghafalan dan pembukuan yang pertama.

Sebab-sebab pada masa Nabi Muhammad, Al-Quran belum di tulis dan dibukukan dalam satu mushaf yaitu :
1. Kare tidak ada factor pendorong untuk di bukukannya Al-Quran dalam satu mushaf.
2. Karena diturunkan secara berangsur-angsur.
3. Selama proses turunnya Al-Quran masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat yang di Masukh.

D. Pengumpulan Al-Quran Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin

1. Pada Masa Abu Bakar

Pada waktu Abu Bakar menjadi khalifah, banyak orang pada murtad sehingga Abu Bakar memerangi mereka. Perang Yamamah (12 H) menyebabkan 70 para sahabat penghafal Al-Quran gugur mati syahid. Umar bin Khatab kawatir , kalau-kalau peperangan di tempat lain akan membunuh banyak penghafal Al-Quran sehingga Al-Quran akan hilang dan musnah. Maka akhirnya Umar mengusulkan dan membujuk Abu Bakar supaya Al-Quran mengumpulkan dan membukukan Al-Quran. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan terakhir kali.

Zaid bin Tsabit mulai bekerja dengan bersandar pada hafalan para sahabat dan catatan para sahabat. Kemudian lembaran-lembaran (mushaf) itu di simpan di tangan Abu Bakar sampai wafat 13 H. lalu mushaf berpindah ketangan Umar bin Khatab sampai belia wafat. Lalu mushaf berpindah ketangan Hafsah binti Umar. Pada waktu Utsman menjadi khalifah mushaf di minta Utsman.

Ciri-ciri penulisan Al-Quran pada masa Abu Bakar yaitu :
1) Seluruh ayat Al-Quran dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
2) Ayat-ayat yang telah mansukh/dinasakh tidak ada.
3) Seluruh ayat Al-Quran yang ditulis diakui ke mutawatirannya.


2. Pada Masa Utsman bin Affan

Pada waktu Utsman berkuasa, para sahabat penghafal Quran hidup berpencar, karena daerah Islam semakin luas. Penduduk Syam berguru membaca Al-Quran dengan qiraat Ubay bin Ka’ab. Penduduk Kufah berguru membaca Al-Quran dengan qiraat Abdullah bin Mas’ud dan penduduk Basra berguru membaca Al-Quran dengan qiraat Abu Musa Al-Asy’ari dll.

Bahwa versi qiraat yang diajarkan masing-masing sahabat itu berbeda-beda satu dengan sahabat lainnya. Masing-masing mengganggap versi mereka yang paling betul dan mereka saling menyalahkan dan nyaris saling mengkafirkan di antara mereka.

Khalifah Utsman kawatir dengan melihat keadaan seperti diatas, lalu para sahabat dipanggil semua dan Utsman mengutarakan maksudnya, yaitu bagaimana jalan keluarnya untuk mengatasi masalah yang cukup serius itu. Hasil kesepakatannya adalah mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf dan dikirim kebeberapa daerah. Dan dibentuklah tim yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin Harits bin Hisyam.

Utsman minta mushaf yang disimpan Siti Hafsah diserahkan kepadanya lalu mushaf diserahkan kepada tim untuk disalin kembali dan setelah selesai dikembalikan ke Siti Hafsah kembali. Setelah mushaf hasil kerja tim selesai maka diperbanyak dan dikirim ke berbagai daerah. Mushaf-mushaf lain ada pada waktu itu supaya dibakar. Penulisan mushaf kembali pada masa Khalifah Utsman telah menjadi rujukan umat Islam dan menghilangkan perselisihan serta perpecahan di antara mereka waktu itu.

Ciri-ciri mushaf pada khalifah Utsman bin Affan yaitu :
1) Semua ayat Al-Quran berdasarkan riwayat yang mutawatir.
2) Ayat-ayat yang dimansukh/dinasakh tidak ada.
3) Surah-surah atau ayat-ayatnya ditulis dengan tertib sebagaimana Al-Quran yang berada ditangan umat Islam sekarang ini.
4) Pendapat sahabat nabi sebagai penjelasa ayat tidak ditulis.
5) Mushaf yang ditulis mencakup tujuh huruf dimana Al-Quran diturunkan.

E. Penyempurnaan Pemeliharaan Al-Quran Setelah Masa Khalifah

Mushaf yang ditulis pada masa Utsman tidak memiliki berharakat dan tanda titik. Setelah umat Islam bertambah banyak mereka kesulitan dalam membaca. Maka pada masa Khalifah ‘Abdul Malik(685-705) dilakukan penyempurnaan. Dua orang yang berjasa adalah ‘Ubaidillah bin Ziyad (w 67H) dan Hajaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w 95h). Penyempurnaan dilakukan secara bertahap sampai abad 3 H (akhir abad 9 M). ada tiga orang yang disebut-sebut sebagai pemberi tanda titik pada mushaf Utsman, yaitu Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, Yahya bin Ya’mar (45-129 H) dan Nashr bin ‘Ashim Al-Laits (w 89 H). Yang meletakkan hamzah, tasydid, ar-raum dan Al-isymam adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farabi Al-Azdi.

Khalifah Al-Walid (86-96 H) memerintahkan Khalid bin Abi Al-Hyyaj untuk menulis mushaf Al-Quran. Tahun 1530 M pertama kali Al-Quran dicetak di Bunduqiyah, ketika dikeluarkan, penguasa gereja memerintahkan supaya Al-Quran dimusnahkan.
Tahun 1694 M dicetak kembali oleh orang Jerman bernama Hinkelman di Hamburgh (Jerman).
Tahun 1698 dicetak oleh Marracci di Padoue.
Tahun 1787 dicetak dengan label Islam oleh Maulaya ‘Utsman di Sain Petesbourg Uni Soviet (Rusia).
Tahun 1248H / 1828 M dicetak di Teheran Iran.
Tahun 1833 dicetak di Tabris.
Tahun 1834 di cetak di Leipzig Jerman.
Tahun 132 H / 1923 M di Negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus yang dipelopori para Syeikh Al-Azhar untuk penerbitan Al-Quran. Mushaf yang pertama terbit di Negara Arab ini sesuai dengan riwayat Hafsah atas qiraat ‘Ashim . setelah itu Al-Quran banyak dicetak di negara-negara lain.

F. Rasm Al-Quran

1. Pengertian Rasm Al-Quran
Rasm Al-Quran/Rasm Utsmani/Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Quran yang ditetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan.
Kaidah-kaidah Rasm Al-Quran yaitu :
1) Al-Hadzf (membuang, menghilangkan/menambah huruf)
2) Al-Ziyadah (penambahan)
3) Al-Hamzah
4) Badal (penggantian)
5) Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan)
6) Kata yang dapat dibaca dua bunyi

2. Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Al-Quran
1) Rasm Utsman bersifat Tauqifi, yaitu bukan produk manusia yang wajib diikuti ketika menulis Al-Quran.
2) Rasm Utsman bukan Tauqifi tapi merupakan kesepakatan cara menulis Al-Quran yang disetujui Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti.
3) Rasm Utsman bukan Tauqifi jadi tidak menyasahi bila menulis Al-Quran tidak menggunakan Rasm Utsman.

3. Kaitan Rasm Al-Quran Dengan Qiraat
Mushaf Utsman yang tidak berharakat dan bertitik masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qiraat seperti qiraat 7, 10 dan 14. Maka Ibnu Mujahid (859-935) melakukan penyeragaman cara membaca Al-Quran dengan 7 cara saja (qiraat sab’ah). Malik bin Anas (w 795) melakukan hal yang sama, dengan tegas menyatakan bahwa salat yang dilaksanakan menurut bacaan Ibnu Mas’ud adalah tidak sah.


Selengkapnya...

Jadilah Penerang Bagi Orang Lain "BLOG MAS CAHYO" 'HOME,FIKIH,HADIS,AL-QURAN,SHALAT,OASE ISLAM,DAN TUTORIAL'

Konsultasi Skripsi

RPP - SILABUS

Ebook CHM Murah

Tausiyah


Allah Ta'ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
"Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan menegakkan shalat serta menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar." (al-Bayyinah: 5)
Allah Ta'ala berfirman pula:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
"Samasekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan dan engkau sekalian." (al-Haj: 37)
Allah Ta'ala berfirman pula:
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
"Katakanlah - wahai Muhammad ,sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah." (ali-lmran: 29)

Followers

BLOG MAS CAHYO Headline Animator

Buku Tamu

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Chatbox

 

Copyright © 2009 by BLOG MAS CAHYO

HEAD LINE NEWS BLOG MAS CAHYO | HOME FIKIH HADIS AL-QURAN FATWA OASE ISLAM DOWNLOAD TUTORIAL