24 Desember 2009

Masalah Takbir Hari Raya

Pertanyaan :

Dalam Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV No. Kep. 17/SK-PP/II-A/1.a/2001 tanggal 15 Februari 2001 lampiran III Tuntunan Ramadhan, antara lain menyatakan bahwa takbiran pada malam ‘Id haditsnya lemah. Yang ada adalah hadits Ibnu Umar yang menyatakan bahwa beliaudan sahabat yang lain bertakbir dari rumah ke mushalla dan sampai dengan datangnya imam. Yang kami tanyakan:
1.Bagaimana dengan takbiran yang diucapkan setelah shalat maghrib, isya’, dan shubuh yang biasa dilaksanakan di masjid-masjid dan surau-surau?
2. Bagaimana pula dengan takbiran serupa di hari ‘Idul Adlha pada malam hari ke-10 Dzulhijjah dan hari-hari tasyriq (11-13 Dzulhijjah)?
3. Bagaimana tuntunan lafadz takbir yang sebenarnya?
4. Bolehkah mengumandangkan takbir secara beramai-ramai dengan didahului oleh seseorang (seperti imam takbir)?
5. Bolehkah takbiran disertai/diiringi dengan pemukulan bedug atau bedug-bedug dengan irama tersendiri oleh para penabuhnya, dengan alasan untuk syi’ar agama? Saya khawatir jangan-jangan nanti dikatakan sunat oleh sementara orang.

Pertanyaan ini merupakan rangkuman pertanyaan yang diajukan oleh Ruswanda, S. Pd. di Garut, Achmad Supiani M, di Pagatan, dan Jeffriady di Pulau Nias.

Jawaban :
1. Keputuskan Muktamar Tarjih XX yang berlangsung tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H, bertepatan dengan tanggal 18 s.d. 23 April 1976 di Kota Garut Jawa Barat, yang selanjutnya telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan surat Nomor: C/1-0/75/77 tertanggal 5 Shafar 1397 H bertepatan dengan tanggal 26 Januari 1977, yang berkaitan dengan waktu takbir menjelang shalat ‘Id disebutkan: Hendaklah engkau perbanyak membaca takbir pada malam Hari Raya Fithrah sejak mulai matahari terbenam sampai esok harinya ketika shalat akan dimulai.

Demikian pula dalam Tuntunan Ramadhan yang merupakan sebagian dari Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV di Malang Jawa Timur yang telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, - sebagaimana yang telah disebutkan dalam pertanyaan, - disebutkan: di antara Adab dalam menyambut Hari ‘Idul Fithri, yang pertama adalah: Memperbanyak takbir, dengan uraian: Dalam rangka menyambut Hari ‘Idul Fithri dituntunkan agar orang (Islam) memperbanyak takbir pada malam ‘Idul Fithri sejak dari terbenamnya matahari hingga pagi hari ketika shalat ‘Id segera dimulai.
Dalil yang dijadikan dasar keputusan tersebut, - baik dalam Muktamar Tarjih XX maupun dalam Musyawarah Nasional Tarjih XXIV, - adalah:
a.Firman Allah SWT

… وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (البقرة: 185)

Artinya: “…dan supaya kamu menyempurnakan bilangannya dan supaya kamu agungkan kebesaran Allah atas petunjuk yang telah Dia berikan padamu dan supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqarah: 185)

c.Hadits riwayat Ibnu Umar ra.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذاَ غَداَ إِلىَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعِيْدِ كَبَّرَ فَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ، وَفِيْ رِوَايَةٍ كاَنَ يَغْدُوْ إِلى الْمُصَلَّى يَوْمِ اْلفِطْرِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعَيْدِ ثُمَّ يُكَبِّرُ بِالْمُصَلَّى حَتَّى إِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ [رواه الشافعي في مسنده جـ 1 : 153، حديث رقم 444 و 445].

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia apabila pergi ke tanah lapang di pagi hari Id, beliau bertakbir dengan mengeraskan suara takbirnya. Dalam riwayat lain (dikatakan): Beliau apabila pergi ke tempat shalat pada pagi hari Idul Fitri ketika matahari terbit, beliau bertakbir hingga sampai ke tempat shalat pada hari Id, kemudian di tempat shalat itu beliau bertakbir pula, sehingga apabila imam telah duduk, beliau berhenti bertakbir. [HR. asy-Syafi‘i dalam al-Musnad, I:153, hadis no. 444 dan 445].

Dari dua dalil yang telah disebutkan di atas, dapat kami kemukakan bahwa keputusan yang berisi anjuran untuk memperbanyak takbir dalam rangka menyambut Hari ‘Idul Fithri yang dimulai semenjak terbenamnya matahari pada malam ‘Idul Fithri adalah dengan memperhatikan perintah Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 185, yaitu untuk bertakbir setelah sempurna bilangan puasa Ramadhan. Memang dalam ayat tersebut tidak secara tegas dinyatakan bahwa takbir dimulai setelah matahari terbenam, sebagai tanda telah sempurnanya puasa Ramadhan. Namun menurut kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh ‘Ali Hasballah dalam Kitab Ushuulut-Tasyrii‘il Islamiy halaman 187 atau menurut pendapat yang rajih (yang lebih kuat) sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhailiy dalam Ushuulul-Fiqhil-Islamiy Juz I halaman 231-232, bahwa apabila ada perintah yang tidak disertai dengan ketegasan waktunya, maka dibolehkan untuk menyegarakan sebagaimana boleh pula untuk mengakhirkan pelaksanaan perintah tersebut, namun menyegerakan adalah lebih utama dan lebih berhati-hati. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ.

Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” [QS. Ali ‘Imran (3): 133].

... فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ... .

Artinya: “… maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan… .” [QS. Al-Maidah (5): 48].

Dengan hujjah (argumentasi) di atas, kiranya dapat difahami Keputusan Muktamar Tarjih XX dan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV yang antara lain menganjurkan agar memperbanyak takbir semenjak terbenamnya matahari pada malam ‘Idul Fithri.

Terhadap hadits Ibnu ‘Umar, dapat dipegangi sebagai berakhirnya waktu takbir dalam menyambut ‘Idul Fithri, yakni ketika shalat ‘Id segera akan dimulai.

2.Dalam Muktamar Tarjih XX sebagaimana yang telah disebutkan di atas, juga diputuskan bahwa takbir pada Hari Raya Adlha mulai sesudah shalat Shubuh pada hari ‘Arafah sampai akhir hari Tasyriq. Keputusan ini didasarkan dalil-dalil:

وَلِمَا ذَكَرَهُ اْلبُخَارِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَ ابْنِ عُمَرَ تَعْلِيْقًا أَنَّهَا كَانَا يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوْقِ أَيَّامَ اْلعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَ يُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيْرِهِمَا.

Artinya: Beralasan pada yang diriwayatkan imam al-Bukhari dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar (tanpa sanad) bahwa keduanya pergi ke pasar pada hari kesepuluh sambil membaca takbir dan orang-orang mengikuti takbir mereka.

وَ ذَكَرَ اْلبَغَوِى وَ اْلبَيْهَقِى ذَلِكَ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ مَعَ شِدَّةِ تَحَرِيَّةِ لِلسُّنَّةِ يُكَبِّرُ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى اْلمُصَلَّى.

Artinya: Hal yang demikian disebutkan juga oleh al-Baghawi dan al-Baihaqi: Adalah Ibnu Umar itu sebagai orang yang selalu memperhatikan tuntunan (Nabi saw.), dia membaca takbir dari rumahnya sampai ke tempat shalat.

وَ حَدِيْثِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ (رواه أحمد وكذا ابن أبي الدنيا و البيهقى في الشعب و الطبرانى في الكبير عن ابن عباس)
وَ أَصَحُّهُ عَنِ الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَلِيٍّ وَ ابْنِ مَسْعُوْدٍ إِنَّهُ مِنْ صُبْحِ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ مِنَى (أخرجه ابن منذر و غيره)

Artinya: Beralasan hadits Ibnu Umar menyatakan: Rasulullah saw. bersabda: Tiada hari yang lebih besar bagi Allah dan tiada malam pada hari-hari itu yang lebih disukai oleh Allah dari pada hari-hari sepuluh itu. Oleh karenanya selama itu hendaklah kamu perbanyak membaca tahlil (لا إله إلاّ الله), takbir (الله أكبر), dan tahmid (الحمد لله).” (Riwayat Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi di dalam asy-Sya’ab, dan ath-Thabrani di dalam al-Kabir dari Ibnu Abbas)

Adapun yang terkuat di antara yang diberitakan tentang hal itu dari para sahabat ialah perkataan Ali dan Ibnu Mas’ud (yang mengatakan) bahwa itu adalah mulai dari shubuh Arafah sampai hari-hari Mina yang terakhir. (Riwayat Ibnul Mundzir dan lain-lainnya)

وَ لِمَا رَوَاهُ اْلبَيْهَقِى وَالدَّارُقُطْنِى أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى اْلعَصْرِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ، وَاْلحَاكِمُ أَيْضًا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَطْرَ ابْنِ خَلِيْفَةَ عَنْ أَبِي اْلفَضْلِ عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّار قَالَ: وَهُوَ صَحِيْحٌ. وَصَحَّ مِنْ فِعْلِ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَ ابْنِ مَسْعُوْدٍ.

Artinya: Dan beralasan pada riwayat al-Baihaqi dan ad-Daruquthni (yang mengatakan): bahwa Nabi saw. membaca takbir sesudah dhalat shubuh pada hari Arafah sampai Ashar hari Tasyriq terakhir.

Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dari jalan lain dari Qathur ibnu Khalifah dari Abi Fadlah, dari Ali dan Ammar, al-Hakim berkata: riwayat tersebut shahih lagi dibenarkan oleh perbuatan Umar, Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud.

3.Lafadz Takbir sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Tarjih XX, adalah:

اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Berdasarkan dalil:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُوْدٍ: اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.

Artinya: Dari Salman (diriwayatkan bahwa) ia berkata: bertakbirlah dengan Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiiraa. Dan diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas’ud: Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd. [HR. Abdul Razzaaq, dengan sanad shahih].

4.Tentang mengumandangkan takbir dengan komando oleh seseorang atau dengan imam takbir, pernah kami berikan jawabannya dan telah dimuat dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid II halaman 111-112 yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Dalam buku tersebut antara lain kami sebutkan bahwa dalam perintah bertakbir tidak diterangkan apakah dengan komando atau imam takbir, ataukah sendiri-sendiri, atau bersama-sama tanpa komando imam takbir. Kami berpendapat bahwa takbir yang dilakukan dengan dituntun akan membuat lebih kompak.

Dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi‘i sebagaimana telah kami kemukakan di atas, disebutkan bahwa beliau mengeraskan (menyaringkan) suaranya dalam bertakbir. Dapat diperkirakan bahwa dengan suara yang keras atau yang nyaring itu, akan lebih menjadikan syi‘ar ajaran Islam, - khususnya dengan pelaksanaan shalat ‘Id. Namun dalam pada itu, hendaklah difahami bahwa sesungguhnya yang tidak kalah penting dalam bertakbir itu adalah sebagai perwujudan atau ekspresi kesadaran terhadap keagungan asma Allah dan kenisbian manusia di hadapan-Nya serta sebagai tanda syukur atas petunjuk dan nikmat yang diberikan oleh-Nya. Oleh karena itu dalam bertakbir, harus dilakukan dengan sekuat mungkin berusaha untuk menghayati makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz takbir itu, sehingga dapat berpengaruh ke dalam jiwa untuk semakin meningkat ketaqwaannya.

5.Berkait dengan bertakbir yang diiringi irama bunyi pukulan bedug atau suara alat-alat musik yang lain dengan alasan syi‘ar, kiranya dapat kami kemukakan sebagai berikut:

Irama bunyi bedug atau alat musik yang lain, sesungguhnya adalah bertujuan untuk memperindah pendengaran, dengan harapan dapat menarik orang untuk mendengarkan atau mengikuti suara yang diiringi oleh bunyi alat musik tersebut, karena merasa senang dan terhibur dengan irama alat musik tersebut. Jika demikian, maka tidak menutup kemungkinan bahwa takbir yang diiringi dengan irama / bunyi bedug atau alat musik yang lain, akan mampu mengajak orang untuk ikut mendengarkan atau bahkan ikut pula bertakbir.

Tetapi dalam pada itu, tidak menutup kemungkinan pula keikutsertaan orang dalam bertakbir telah diwarnai untuk mencari hiburan, bahkan mungkin lebih dominant daripada tujuan untuk menghayati dan meresapi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz takbir sebagai sebuah ibadah. Setidak-tidaknya kepada pemain musiknya akan lebih terkonsentrasi kepada menjaga keselarasan irama musik dengan suara takbir yang dikumandangkan.

Jika yang diperkirakan ini menjadi sebuah kenyataan, dan jika dalam masyarakat sosialisasi takbir sebagai ibadah semakin menipis, maka terjadinya pergeseran nilai dalam bertakbir bukan merupakan suatu hal yang mustahil, - takbir berubah dari nilai ritual (ibadah) menjadi sebuah hiburan yang profan (duniawi). Oleh karena itu, atas dasar dalil سَدُّ الذَّرِيْعَةِ (menutup jalan terjadinya kerusakan), kami cenderung bertakbir dilakukan secara khusyu‘ tanpa diiringi irama musik apapun.

Wallahu a‘lam bish-shawab.
===================
sumber : www.muhammadiyah.or.id



Selengkapnya...

Masalah Shalat Jumat Pada Hari Raya

Permasalahan hari raya (baik Idul Fitri maupun Idul Adha) yang jatuh pada hari Jumat pernah ditanyakan dan dijawab dalam SM selanjutriya dapat dibaca kembali dalam Buku Tanya Jawab Agama jilid II halaman 114. Penerbit Suara Muhammadiyah tahun 1992.Kemudian pada tahun 1995 permasalahan tersebut dibahas lagi oleh Majelis Tarjih karena Hari Raya Idul Fitri Tahun 1415 H/1995 M diperkirakan akan jatuh pada hari Jumat tanggal 3 Maret 1995. Hasilnya dimuat dalam Surat Majelis Tarjih PP Muhammadiyah No.19/C.1/MT PPM/1995, tanggal 15 Ramadlan 1415 H/15 Februari 1995 M. Intinya dapat dikemukakan sebagai berikut:

Ada beberapa hadits yang menerangkan adanya keringanan untuk tidak melakukan shalat Jumat bagi orang yang pada pagi harinya sudah melaksanakan shalat Id. Tetapi hadits-hadits tersebut ada yang dinilai lemah, karena ada perawinya yang tidak dikenal, yaitu hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan lbnu Majah dari Ilyas bin Abi Ramlah. Ada juga yang dinilai sebagai hadits mursal, yaitu hadits riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Disamping itu, ada juga nadits yang dinilai sahih. yaitu hadits yang diriwayatkan an-Nasai dan Abu Daud. Hadits tersebut sebagai berikut:

عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانِ قَالَ: اِجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى عَهْدِ بْنِ الزُّبَيْرِ، فَأَخَّرَ اْلخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارَ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى، وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَ اْلجُمْعَةِ. فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ. [رواه السائى وأبو داود]

“Hadits diriwayatkan dari Wahab bin Kaisan, ia berkata: Telah bertepatan dua hari raya (Jumat dan hari raya) di masa Ibnu Zubair, dia berlambat-lambat keluar, sehingga matahari meninggi. Di ketika matahari telah tinggi, dia pergi keluar ke mushala lalu berkhutbah, kemudian turun dari mimbar lalu shalat. Dan dia tidak shalat untuk orang ramai pada hari Jumat itu (dia tidak mengadakan shalat Jumat lagi). Saya terangkan yang demikian ini kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata: Perbuatannya itu sesuai dengan sunnah.” [HR. an-Nasai dan Abu Daud]

Hadits lainnya adalah yang menerangkan bacaan shalat Nabi ketika hari raya jatuh pada hari Jumat, yaitu sebagai berikut:

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي اْلعِيدَيْنِ وَفِي اْلجُمْعَةِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى وَ هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ اْلغَاشِيَةِ، وَإِذَا اجْتَمَعَ اْلعِيدُ وَاْلجُمْعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا فِي صَلاَتَيْنِ. [رواه الجماعة إلا البخاري وابن ماجة]

“Diriwayatkan dari Nu'man bin Basyir ra., ia berkata: Nabi saw selalu membaca pada shalat kedua hari raya dan shalat Jumat: sabbihisma rabbikal a'la dan hal ataka haditsul ghasyiyah. Apabila berkumpul hari raya dan Jumat pada suatu hari Nabi saw membaca surat-surat itu di kedua-dua shalat.” [HR. al-Jamaah kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah]

Menurut Majelis Tarjih, memahami riwayat yang pertama timbul kesan bahwa apabila hari raya jatuh pada hari Jumat, shalat Jumat tidak perlu dilakukan. Pemahaman yang demikian adalah belum selesai, mengingat adanya hadits yang kedua yang diriwayatkan oleh segolongan ahli hadits termasuk Muslim, kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah. Dari riwayat yang kedua melalui pemahaman isyaratun nas dapat dipahami bahwa Nabi saw pada hari raya tetap melakukan shalat Jumat. Hal ini dipahami dari riwayat kedua yang menyebutkan:

إِذَا اجْتَمَعَ اْلعِيدُ وَاْلجُمْعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا فِي صَلاَتَيْنِ

“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, Nabi saw membaca surat (Sabbihisma dan Hal ataka) pada kedua shalat itu (shalat hari raya dan shalat Jumat).”

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa Nabi saw melakukan shalat Jumat sekalipun hari itu bertepatan dengan hari raya. Adapun keringanan yang disebut pada riwayat yang pertama adalah merupakan keringanan bagi orang yang sangat jauh dari kota untuk menuju tempat shalat hari raya dan shalat Jumat di kala itu. Sehingga apabila seseorang harus bolak-balik, yaitu pulang dari shalat Id lalu kembali lagi untuk shalat Jumat padahal jauh tempat tinggalnya, maka akan mengalami kesukaran dan kepayahan.

Atas dasar ini Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa bila hari raya jatuh pada hari Jumat, Nabi saw melaksanakan shalat Jumat. Oleh karenanya, seluruh warga Muhammadiyah hendaknya tetap melakukan shalat Jumat pada hari raya di masjid-masjid yang mudah dijangkau pada siang harinya setelah pada pagi harinya melaksanakan shalat Id.

=======================
SUMBER : www.muhammadiyah.or.id


Selengkapnya...

Dipersada Bani Sa'ad

Mengikut resam bangsa Arab Hadhar (bandar), bahawa usaha memperolehi penyusu-penyusu untuk anak-anak mereka dari pendalaman, sebagai usaha mencegah dari penyakit-penyakit yang terdapat di bandar, di samping menguatkan pembinaan jasad anak-anak, mengemaskan otot-otot, malah ianya juga sebagai cara untuk membantu lisan bahasa Arab dengan bahasa yang baik sejak dalam buaian lagi,untuk itu Abdul Mutalib telah berusaha mencari penyusupenyusu untuk Rasulullah, dengan itu beliau menyerahkan Muhammad kepada Bani Sa'ad bin Bakr, iaitu Halimah binti Abi Zuaib suaminya dikenali sebagai al-Harith bin Abd al-Qira bergelar Abu Kabsyah dari Qabilah yang sama.

Adapun saudaranya yang sepenyusuan di Bani Sa'ad adalah Abdullah bin al-Harith, Anisah binti al-Harith, Huzafah atau Jazimah binti al-Harith (iaitu al-Syaima', gelarannya lebih di kenali, beliaulah yang mengasuh Rasulullah, dan Abu Sufian Ibn al-Harith bin Abdul Mutalib, anak bapa saudara Rasulullah itu pun sepenyusuan dengan Baginda juga.

Bapa saudara Rasulullah Hamzah bin Abdul Mutalib pun pernah menyusu di Bani Sa'd bin Bakr, maka Hamzah menjadi saudara sepenyusuan dengan Rasulullah dari dua orang ibu; Thuwaibah dan Halimah al-Sa'diah, kerana ibu susuan Hamzah di suatu hari telah member susuannya kepada Rasulullah. Semasa Baginda bersama Halimah, beliau telah menyaksikan banyak keberkatan-keberkatan Rasulullah.

Ibn Ishaq telah menyebut: Halimah telah berkata yang ianya telah keluar dari kampong bersama suaminya dan disertai oleh anak kecil yang masih menyusu, beliau keluar bersamasama wanita-wanita Bani Sa'd, dalam rangka mencari anak-anak susuan dengan katanya: Ini berlaku di tahun kedua di mana kami tidak memiliki apa-apa pun katanya lagi: Aku telah keluar dengan menunggangi kaldai betina "Qamra" panggilannya, bersama kami unta-unta, demi Allah unta kami itu tidak mengeluar susu setitik pun. Malah pada masanya kami tidak dapat tidur kerana anak kecil kami menangis disepanjang malam lantaran kelaparan, dadaku tidak dapat mengenyangkan, unta kami tidak dapat memberi makanan, namun demikian kami masih tetap mengharapkan hujan, daku keluar dengan kaldai betinaku itu, hingga pecah-pecah dan berdarah kaki kerana muatan berat, seluruh yang bermusafir itu terasa berat, lemah dan kekurusan, akhirnya sampai juga kami di Kota Makkah mencari anak-anak susuan, setiap dari kami telah diajukan Rasulullah untuk penyusuannya maka setiap orang pula menolaknya iaitu apabila diceritakan tentang keyatimannya, kerana setiap kami sebagai ibu susu mengharapkan budi baik dari si bapa, setiap kami menyebut-menyebut yatim!!

Apa yang akan boleh dilakukan oleh si ibu dan si datuknya maka setiap kami membencinya kerana keyatimannya. Setiap yang datang bersama denganku telah membawa pulang bayi susuannya kecuali ku seorang sahaja bila kami telah bersiap untuk pulang, ku pun menyebut kepada suamiku: Demi Allah aku tidak sukalah untuk pulang bersama-sama dengan temantemanku yang lain tanpa membawa bersamaku seorang bayi susuan pun, demi Allah aku mesti ambil si yatim tadi. Jawab suamiku: tidak mengapalah untuk kau berbuat demikian, semoga Allah jua akan memberikan kita keberkatan kerananya. Katanya! Aku pergi ambil si yatim itu, yang mendesak ku mengambilnya, kerana tidak ada yang lain untuk ku ambil, katanya, setelah ku dukung ke tunggangan ku, dan sebaik sahaja ku letakkannya ke ribaku, terasa dadaku dipenuh susu, maka si yatim pun menghisapnya hingga puas, saudaranya pun menyusu juga hingga puas dan tertidur, sebelum ini kami tidak pernah tidur bersamanya, kemudian suami ku pergi ke unta kami, dan didapati uncang susunya penuh dengan susu, beliau memerahnya lalu diminumnya dan diberi kepada yang lain-lain kiranya kami semua puas dan kenyang, malam itu kami dapat tidur dengan nyenyak, Halimah berkata: Suamiku telah berkata bila kami bangun di pagi harl: Demi Allah, tahu tak wahai Halimah, sebenarnya tiupan bayu keberkatan mula menghembus nafasnya, kata Halimah: Ku menjawab: Demi Allah sesungguhnya ku mengharapkan demikian, dan katanya lagi:

Setelah itu kami pun bergerak keluar dari daerah Makkah, aku menunggangi kaldai betina ku itu, di atasnya juga ku membawa Rasulullah, demi Allah binatang tungganganku merentasi perjalanan kiranya tidak dapat disaingi oleh kaldai-kaldai mereka yang lain, hinggakan temanteman ku yang lain, tertanya-tanya dan berkata: Wahai puteri Abu Zuaib apa kamu ini?
perlahanlah sedikit, tidakkah tunggangan kamu itu yang naik ke sini dulu, jawabku kepada mereka: Bahkan demi Allah yang itu itulah: jawab mereka: Demi Allah, ianya ada keistimewaan, kata Halimah:

Setelah itu kami semua pun sampailah ke kampung kami iaitu persada Bani Sa'd, ku tidak pernah melihat sebuah bumi yang paling kontang dari bumi Bani Sa'd, namun setelah kami pulang dari mengambil bayi susuan kami itu nampaknya kambing-kambing kami sarat perut kekenyangan, uncang-susu dipenuh susu, kami memerahnya dan meminumnya, sedang ternakan orang lain tetap tidak menghasilkan setitik susu pun, uncang susu kekeringan, menyebabkan penduduk-penduduk yang lain menyuruh penternak-penternak mereka dengan berkata: Binasa kamu, cubalah bawa ternakan-ternakan ke tempat yang selalu puteri Abu Zuaib berternak itu, namun kambing-kambing mereka tetap kelaparan tidak mengeluar walau setitik susu pun, sedangkan ternakan kami kekenyangan uncangnya sarat dengan susu. Beginilah seterusnya kami terus menerima limpahan kurnia dari Allah hingga berlalu dua tahun umur Baginda di mana Baginda pun tinggal susu, Baginda membesar tidak seperti kanak-kanak lain, seblum sampai usia dua tahun Baginda telah menjadi besar segar, kata Halimah: Setelah beberapa masa kami bawa Baginda pulang kepangkuan ibunya, walau macam mana pun kami tetap prihatin agar Baginda terus tinggal bersama kami, kerana kami dapat menikmati keberkatannya, untuk itu kami pun mengemukakan harapan ini kepada ibunya, dan ku berkata kepadanya: Kalaulah puan benarkan anakku ini terus tinggal bersamaku hingga meningkat tampan, pun ada baiknya, kerana ku takut wabak-wabak di Makkah akan menyeranginya nanti, katanya lagi. Masih lagi kami merayu-rayu hingga ibunya pun membenarkannya pulang bersama kami.

Demikianlah halnya Rasulullah kembali tinggal kepangkuan Bani Sa'ad, hinggalah apabila Baginda meningkat empat atau lima tahun, di mana berlakunya peristiwa pembedahan dada Baginda, Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadith dari Anas (r.a) bahawa Rasulullah telah didatangi Jibril (a.s), di ketika Baginda sedang bermain-main dengan anak-anak lain, Jibril memegang Baginda dan merebahkannya lalu dibelah dadanya dan dibawa keluar hati dan dikeluarkan segumpal darah dari dalamnya, dengan berkata: Inilah bahagian tempat syaitan bersarang, setelah itu dicucikan hati Baginda di dalam sebuah talam emas dengan air Zamzam setelah itu disembuhkan semula badannya dan dibawa semula Rasulullah ke tempat anak-anak tadi, manakala anak-anak lain berlarian pergi menemui ibunya Halimah menceritakan, dengan kata mereka, "Muhammad telah dibunuh". Apabila mereka menemuinya semula didapati Baginda kepucatan.

=======================
sumber : sirah nabawiyah, Penulis Syaikh Shi Fiyyurahman al-Mubarakfuri


Selengkapnya...

Kelahiran Rasulullah Dan Empat Puluh Tahun Sebelum Pengutusan

Rasulullah (s.a.w) penghulu para Rasul telah dilahirkan di Syuaib Bani Hashim di Makkah pada pagi hari Isnin 9 Haribulan Rabiulawwal dipermulaan Tahun Gajah, dan tahun keempat puluh dalam pemerintahan Raja Kisra Anu Syirwan bersamaan 20 atau 22 April tahun 571 Masihi mengikut perkiraan Ulama Agong Muhammad Sulaiman al-Mansurpuri dan pentakhkik Falak Mahmud Basya.

Ibn Sa'd meriwayatkan bahawa ibu Rasulullah (s.a.w) menceritakan: " Ketika ku melahirkannya, satu cahaya telah keluar dari farajku, menerangi mahligai-mahligai di negeri Syam" , periwayatannya hampir sama dengan apa yang diriwayatkan oleh al-Irbadh bin Sariah.

Beberapa irhasat (petanda-petanda) kebangkitan seorang rasul telah berlaku beberapa ketika, sebelum kelahiran Rasulullah, di antaranya runtuhan empat belas anjung dewan Kisra Parsi, terpadamnya api yang disembah penganut agama majusi, robohnya gereja-gereja di sekitar Tasik Sawah yang sebelum ini penuh sesak dengan para pengunjung. Ia diriwayat oleh al- Baihaqi. Tetapi tidak dipersetujui oleh Muhammad al-Ghazali. Sebaik sahaja Baginda dilahirkan, ibunya Aminah segera memberi tahu kepada datuk Baginda Abdul Mutalib, mengenai perkhabaran yang baik itu, dengan itu Abdul Mutalib terus mengambil dan membawa Baginda kedalam Kaabah, untuk berdoa dan bersyukur kepada Allah, beliau telah memilih nama "Muhammad" sebagai nama kepada cucunya, nama itu tidak pernah dinamakan kepada sesiapa pun oleh bangsa Arab sebelum ini, Nabi Muhammad (s.a.w) telah berkhatan ketika berada di dalam kandungan ibunya lagi. Penyusuannya yang pertama selepas ibunya, ialah daripada Thuwaibah hamba Abu Lahab bersama anaknya bemama Masruh dengan itu beliau menjadi saudara sepenyusuan dengan Baginda, sebelum ini Thuwaibah juga telah menyusukan Hamzah bin Abdul Mutalib selepas beliau Abu Salamah bin Abdul al-Asad al-Makhzumi.

=================
sumber : sirah Nabawiyah, Penulis Syaikh Shi Fiyyurahman al-Mubarakfuri


Selengkapnya...

Rahsia Pemilihan Semenanjung Arab Sebagai Tapak Pancaran Islam

Sebelum kita memperkatakan sesuatu tentang sejarah hidup RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi Wasallam dan memenan-jung 'Arab di mana baginda hidup dan dipilih sebagai Rasul, ada baiknya kalau kita cuba menyingkap hikmat-hikmat Allah, mengapa terpilihnya Rasulullah dari bumi ini dan bangsa 'Arab pula sebagai pembawa obor da'wah Islamiyyah.

Untuk mengetahui segala-segalanya pertama kita mesti mengetahui keistimewaan bangsa 'Arab dan perangai serta tata penghidupannya sebelum Islam dan keadaan muka bumi (geografi) dan persekitarannya. Kemudian barulah kita membuat perbandingan dengan bangsa-bangsa yang hidup sezaman de-ngannya seperti Romawi, Greek dan India termasuk adat resam, tatasusila dan keistimewaan tamaddun mereka.

Pertamanya, marilah kita mengkaji secara sepintas lalu bangsa-bangsa yang hidup di sekitar tanah 'Arab sebelum Islam: Dunia di kala itu boleh dikatakan telah dikuasai dan dikepalai oleh dua negara yang gagah iaitu Parsi dan Romawi dan disenarai yang kedua pula ialah Greek dan India. Parsi di kala itu merupakan arena pertarungan agama dan falsafah yang beranika corak.

Pembesar dan pemerintah pada keseluruhannya menganut agama Majusi (Zuradisy) yang mana antara ajarannya menggalakkan lelaki berkahwin dengan ibu nya, anak perempuannya
atau adik dan saudara perempuannya.

Pembesar Yazdajrid kedua yang memerintah di pertengahan abad kelima Masihi telah berkahwin dengan anak perempuannya. Bukan setakat itu sahaja malah tatasusila dan sopan-santun telahpun terpesong dari garis-garis yang bersifat kemanusiaan. Mengikut apa yang ditegaskan oleh Al Imam Al Shahras-tani dalam kitabnya yang berjudul Al-Milal Wa Al-Nihal, terdapat antara ajaran agama Mazdak yang menyebut bahawa kebebasan kaum wanita tiada hadnya.

Begitu juga dengan kebebasan menggunakan harta benda dan seterusnya menjadikan wanita dan harta benda ini kepunyaan dan hak milik bersama, tidak ubah seperti air, api dan rumput di mana semua manusia boleh berkongsi tanpa sekatan. Seruan ini telah mendapat sambutan yang begitu hangat dari karangan mereka yang memang berhaluan demikian.

Kerajaan Romawi (Rome) pula begitu meluap-luap dengan jiwa dan semangat penjajahan dan bergelut dalam persengketaan agama dengan pihak Kristian negeri Syam (Syria) dan Mesir. la bergantung penuh kepada kekuatan angkatan ten-teranya dan cita-cita penjajahannya yang berkobar-kobar dalam rangka percubaan memodenisasikan agama Kristian untuk disesuaikan dengan matlamat mencapai cita-cita dan kemahuannya. Negara ini juga berada dalam keadaan huru-hara dan kucar-kacir dari negara Parsi, yang hidup dengan segala kemewahan iaitu kemewahan dalam kemerosotan ekonomi dan pemerasan terhadap rakyat jelata. Kenaikan cukai yang begitu melambung tinggi merupakan suatu gejala yang biasa dan telah menjadi satu lumrah.

Greek tua pula tenggelam ke dasar lautan khurafat dan dongeng yang tidak memberi sebarang faedah dan natijah yang berguna sama sekali. Negara India pula di kala itu menurut Professor Abul Hassan Al Nadwi telah menegaskan bahawa ahli sejarah dan pengarang sebulat suara mengatakan yang India di permulaan abad keenam Masihi telah terlantar ke lembah kemeroosotan agama, akhlak dan kemasyarakatan. India bersama jiran tetangga dan saudaranya turut serta mengambil bahagian dalam memerosotkan akhlak dan kemasyarakatan.

Perlu kita ketahui bahawa anasir-anasir yang menyeret bangsa-bangsa ini ke lembah kerosakan dan perpecahan ialah kemajuan dan tamaddun yang berasaskan kepada mata benda (material) semata-mata. Tamaddun ini telah tidak mengambil contoh-contoh ma'nawi dan akhlak yang sempuma sebagai landasan dan asas kemajuan. Tamaddun dan kemajuan kebendaan dengan anika sebab-akibat yang timbul darinya hanyalah tidak lebih dari satu jalan semata-mata iaitu satujalan yang tidak dapat memberikan apa-apa erti. Lantaran ketandusan fikiran yang waras dan contoh sempurna yang benar-benar dapat dihayatii maka tamaddun dan kemajuan yang dicapai itu telah membawa kehidupan manusia mengalir ke tasik kecelakaan dan huru-hara. Sebaliknya jika ahli fikirnya mempunyai akal fikiran yang waras dan pertimbangan yang saksama maka tamaddun dan kemajuan tadi merupakan jalanjalan yang indah serta mudah pula menuju ke arah kesenangan dalam semua corak dan aspek hidup. Biasanya perkara ini tidak akan lahir kecuali melalui agama dan wahyu Ilahi sahaja.

Semenanjung 'Arab di masa itu merupakan suatu kawasan yang tenang, jauh dan terpencil dari gejala-gejala huru-hara tadi. Bangsanya langsung tidak pemah merasai kemewahan dan kemajuan seperti Parsi; yang boleh membawa mereka ke arah kerosakan dan keruntuhan akhlak dan tidak pula mengagung-agungkan kekuatan tentera yang membolehkan mereka menjajah negara-negara di sekitamya. Mereka juga tidak menganut falsafah dan ideologi yang beranika ragam seperti Greek Tua yang menyebabkan mereka menjadi mangsa kepada dongengan dan khurafat.

Tabi'at semula jadi mereka ini tidak ubah seperti suatu "bahan yang mentah" yang belum pernah dilebur di mana-mana dapur dan dicorak di mana-mana acuan seolah-olah terbayang di layar penghidupan rnereka seorang manusia semulajadi yang bersih rnempunyai kemahuan yang kuat ke arah pembentukan manusia yang terpuji yang mempunyai sifat-sifat amanah, pemurah, suka menolong dan bencikan kezaliman. Apa yang mereka perlu hanyalah pengetahuan yang dapat menyinari jalan-jalan ke arah tersebut kerana mereka ini hidup dalam kejahilan yang gelap memekat. Kebanyakan mereka telah sesat untuk sampai ke arah kemanusiaan yang sebenamya. Mereka membunuh anak perempuan kerana mahu menjaga maruah, membelanjakan wang yang banyak dengan harapan mahukan kemuliaan dan berperang sama sendiri dengan tujuan mempertahankan kehormatan.

Segala-galanya ini telah diterangkan oleh Allah Subhanahu Wata'ala di dalam Al-Qur'an: Yang bermaksud;

"Dan sesungguhnya kamu sebelum hari ini adalah dan golongan orang-orang yang telah sesat".(Al-Baqarah Ayat 198)

Penegasan ini lebih merupakan keuzuran dan kemaafan bagi mereka daripada penghinaan ke atas mereka.

Ini adalah memandangkan bangsa-bangsa lain telah menggunakan tamaddun dan kemajuan mereka sebagai alat ke arah kerosakan sedangkan mereka ini sedar malah merancang sedemikian. Di samping semuanya ini, Semenanjung 'Arab di segi kedudukan muka buminya pula terletak di pertengahan bangsa-bangsa tersebut (iaitu Parsi dan Rome) yang bergolak di sekelilingnya.

Muhammad Al Mubarak seorang professor Mesir telah mengutarakan pendapat dengan katanya:

'"Orang yang memerhati dan memandang kepada bangsa 'Arab akan dapat melihat bagaimanakah bangsa Arab boleh berdiri di masa silam di tengah-tengah dua tamaddun yang melebar di kiri kanan. Di sebelah kirinya tamaddun barat yang keterlaluan telah cuba mendapatkan gambaran dan imej manusia dengan alirannya yang kering pucat tak berhias dan tidak berjejas dengan hakikat keinsanannya. Di sebelah kanannya pula tamaddun kerohanian dan kejiwaan yang melambung ke alam khayalan seperti yang terdapat di India, China dan sebagainya."

Setelah kita dapat menggambarkan hal keadaan bangsa 'Arab dan semenanjungnya sebelum Islam juga hal keadaan bangsa-bangsa lain yang mengelilinginya maka mudahlah bagi kita menyingkap di sebaliknya apakah hikmat-hikmat Allah mengutuskan Rasul utusan di Semenanjung 'Arab itu dan bangsa 'Arab pula merupakan golongan pertama buat merintis jalan-jalan ke arah penyebaran obor seruan da'wah Islamiyyah yang kini telah dianuti oleh umat manusia di seluruh pelusuk alam.

Bukanlah sepertimana yang disangka oleh setengah-se-tengah golongan yang mengatakan bahawa pengikut-pengikut agama yang sesat adalah sukar untuk mengubati jiwa mereka dan sukar memberi tunjuk ajar kerana mereka ini ta'sub (fanatik) dan membanggakan keburukan, kehancuran dan kemusnahan yang pada sangkaan mereka semuanya baik. Sedangkan mengubah dan memberi tunjuk ajar kepada mereka yang sedang mencari-cari kebenaran lebih mudah kerana mereka ini sama sekali tidak menafikan kejahilan mereka sendiri dan tidak pula membanggakan atau bermegah-megah dengan hasil tamaddun kerana mereka langsung tidak mempunyai tamaddun. Golongan ini paling mudah sekali untuk diperbaiki dan diberi dorongan kepada mereka. Bagi kita bukanlah ini yang dikatakan hikmat Ilahi, kerana penganalisaan yang seumpama ini hanya tepat kepada mereka yang mempunyai daya dan tenaga yang terbatas sahaja, memilih yang senang dan meninggalkan yang susah kerana tidak mahukan penat lelah.

Andaikata Allah mahu menjadikan pancaran da'wah Islamiyyah di mana-mana bahagian di Parsi atau di Rome atau di India bersinar cemerlang maka sudah pasti pula Allah akan menyediakan kemudahan dan cara-cara sehingga berjaya da'wahnya seperti mana yang berlaku di Semenanjung 'Arab. Soal ini tidak pula menjadi bebanan, kerana Allah Subhanahu Wata'alah Pencipta 'alam semesta. Namun hikmah Allah memilih Semenanjung 'Arab dan Rasul utusan itu tadi (seorang yang buta huruf - tidak boleh membaca dan menulis seperti mana yang diterangkan oleh Allah dalam Kitab SudNya) agar manusia seluruhnya tidak merasa syak wasangka terhadap keNabian dan keRasulanNya.

Sebagai penutup dan epilog kepada hikmah Allah ialah suasana persekitaran tempat Rasulullah diutuskan di mana di dalamnya wujud suatu biah (suasana) buta huruf juga dan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang hidup di sekelilingnya mereka juga belum pernah dimasuki dan diracuni oleh sebarang tamaddun, pemikiran dan kerumitan falsafah yang berserabut.

Di antara hikmat Ilahi juga ialah menghindarkan perasaan syak wasangka manusia apakah Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam ini boleh membaca dan mempelajari kitab-kitab lama yang mengandungi sejarah manusia purba dan tamaddun negara tetangga dan menghindarkan juga sangkaan buruk terhadap Muhammad sekiranya dakwah Islamiyyah ini timbul di kalangan umat manusia yang bertamaddun dan mempunyai falsafah seperti Parsi, Greek Tua atau Romawi. Sebabnya ialah sangkaan buruk ini akan memberi suatu gambaran yang buruk yaitu dari siri tamaddun dan falsafah yang terakhir dalam bentuk tamaddun yang tulen serta kemas dengan perundangan yang lengkap. Hikmah-hikmah Ilahi ini telahpun diterangkan dengan tegas danjelasnya dalam Al-Qur'an: Yang bermaksud:

"Dialah (Allah) yang telah mengutuskan di kelompok buta huruf seorang utusan daripada kalangan mereka (untuk) menyampaikan kepada mereka ayat-ayatNya dan menjauhkan mereka daripada syirik dan mengajar mereka kitab-kitab dan hikmat, dan sesungguhnya mereka itu dahulunya dalam kesesatan yang amat sangat. " (Al-Jumu'ah 62 : 2)

Sudah kehendak Allah mengutuskan utusanNya yang buta huruf, begitu juga bangsa yang akan timbul Rasul di ka-langannya juga satu bangsa yang kebanyakannya buta huruf, agar mukjizat keNabian dan syari'at Islam itu terjulang nampak dan jelas di antara dogma-dogma dan seruan manusia lain yang beranika corak.

Di sana terdapat hikmat Ilahi yang lain, dan boleh diringkaskan seperti berikut:
1. Seperti yang diketahui di mana Allah Subhanahu Wata'ala telah menjadikan Baitui Haram itu tumpuan dan kesejahteraan untuk umat manusia seluruhnya dan merupakan rumah yang pertama untuk manusia beribadat serta mempraktikkan rukun-rukun agama. Sesungguhnya lembah Makkah ini telah menjalankan dan melaksanakan seruan bapa para Anbiya' yaitu Sayyidina Ibrahim 'Alaihi sallam. Tepat dan kena pada tempatnya di mana kawasan yang mulia ini menjadi muara seruan agama Islam yang pertama yaitu agama Nabi Ibrahim dan juga tempat pengutusan Nabi yang terakhir .

2. Di segi kedudukan ilmu alam maka semenanjung 'Arab ini telah dipilih untuk bebanan tanggungjawab da'wah Islamiyyah, kerana situasi dan kedudukannya di tengah- tengah berbagai bangsa. Ini menyebabkan penyebaran da'wah Islamiyyah di kalangan bangsa-bangsa dan negara yang di sekelilingnya tersebar dengan mudah. Ini temyati sekali bila kita mengkaji semula perjalanan da'wah Islamiyyah di zaman permulaannya dan di zaman khulafa al- Rashidin. Memang tepat seperti yang ditegaskan tadi.

3. Dan sebagai hikmat Ilahi juga yang menjadikan bahasa 'Arab itu sebagai media da'wah Islamiyyah dan bahasa yang pertama buat menerang dan mentafsirkan percakap-an atau kalam Allah 'Azza wa jalla untuk disampaikan kepada kita.

Kalau kita perhatikan dengan teliri tentang keistimewaan bahasa-bahasa diikuti dengan satu perbandingan dengan bahasa 'Arab maka dengan jelas kita dapati yang bahasa 'Arab mempunyai banyak keistimewaan yang sukar didapati dalam bahasa-bahasa lain. Maka sudah layak baginya untuk menjadi bahasa yang pertama dan utama untuk umat Islam di mana mereka berada.

==================
sumber : sirah Nabawiyah, Penulis Syaikh Shifiyyurahman al-Mubarakfuri


Selengkapnya...

23 Desember 2009

Sumber-Sumber Sejarah Rasulullah

Berhubung dengan sumber-sumber sejarah Rasulullah bolehlah kita bahagikan seperti berikut:

Pertama: Kitabullah (AI-Qur'an)
Ianya merupakan sumber utama untuk memahami garis-garis kasar penghidupan Muhammad Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam. Pendedahan sejarah hidup Rasulullah dalam al-Qur'an melalui salah satu aliran berikut:

a. Memaparkan beberapa bahagian dari penghidupan baginda, seperti ayat-ayat yang diturunkan mengenai peperangan Badar, Uhud, al Khandaq atau al Ahzab .Juga seperti kisah perkahwinannya dengan Zainab binti Jahsy.

Mengulas pertempuran-pertempuran dan kejadian-kejadian ini adalah untuk memberi penjelasan selanjutnya kepada apa yang dimusykilkan atau untuk menerangkan beberapa kesamaran tentang pertempuran dan peristiwa-peristiwa atau untuk menarik perhatian umat Islam terhadap sesuatu iktibar. Sebenarnya segala-galanya ini mempunyai makna dan hubung kait yang amat rapat dan mesra dengan sejarah dan riwayat hidup Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam. Kesemuanya ini menampakkan kepada kita sebahagian besar daripada aspekaspek penghidupan Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam dan hal ehwal yang bersangkutan dengannya.

Sebenarnya pendedahan Al-Qur'an Al-Karim tentang segala-galanya ini adalah terlalu ringkas dan padat, meskipun cara dan aliran pendedahan tadi kadang kalanya berlainan di antara satu sama lain namun begitu kesemuanya ini tetap memaparkan cebisan-cebisan dan penerangan secara ringkas terhadap pertempuran dan kejadian yang bersejarah. Memang ini adalah jalan dan aliran Al-Qur'an Al-Karim di dalam menceritakan perihal-perihal para Anbiya' yang terdahulu dan umat manusia di zaman silam.

Kedua: Kitab Al-Sunnah Al-Nabawiyyah (Hadith-hadith).
Hadith-hadith Nabi yang sahih. Hadith yang dimaksud-kan di sini ialah isi kandungan Kitab-kitab Hadith yang terkenal dengan kebenaran dan amanahnya, seperti Kitab Hadith Al Muwatta' oleh Imam Malik, Al Musnad oleh Imam Ahmad dan lain-lainnya. Sumber yang kedua ini lebih luas dan terperinci dari yang pertama. Sungguhpun begitu mungkin kita tidak dapat memberikan suatu gambaran yang lengkap tentang kehidupan Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam sejak dilahirkan hingga wafat-nya kerana beberapa sebab:

a. Oleh kerana Kitab-kitab Hadith ini disusun mengikut maudu' atau tajuk-tajuk fiqah ataupun mengikut unit-unit kajian yang bersangkut dengan syari'at Islam maka hadith-hadith yang menceritakan tentang penghidupan RasuluL-lah berselerak dan berkecamuk dalam maudu'- maudu' fiqah.

b. Oleh kerana para ahli hadith, terutamanya penyusun kitab hadith yang enam tidak memerhatikan soal ini ketika mengumpulkannya untuk disusun mengikut sejarah hidup RasuluLlah, apa yang mereka titik beratkan ialah penyusunan mengikut maudu' atau tajuk-tajuk fiqah seperti yang disebut tadi.

Ketiga: Kitab-kitab Sejarah RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi Wasallam.
Perihal riwayat hidup Muhamrnad RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi Wasallam di zaman silam adalah melalui dari mulut ke mulut tanpa mendapat perhatian untuk dibukukan, walaupun terdapat sebilangan kedl yang cuba menitikberatkan perhatiannya terhadap kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam sejarahnya itu. Setelah beberapa ketika terdapat beberapa orang cuba mencatit riwayat hidup Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam ala kadar yang sampai ke pengetahuannya antara mereka seperti Urwah Ibnu Al Zubair (wafat, 92H), Abari bin 'Othman (wafat, 105H), Wahb in Manbah (wafat, 110H), Syarbabil bin Sa'd (wafat. 123H) dan Ibnu "Syibab Al Zuhri (wafat,124H).

Sayangnya apa yang dituliskan oleh mereka ini telah hilang. Hanya tinggal beberapa bahagian yang tercerai, setengahnya terdapat dalam kitab Al-Tabari manakala sebahagian yang lain pula tersimpan di bandar Heidelberg di Jerman. Bahagian yang tersimpan di Jerman ini ialah sebahagian dari tulisan Wahb bin Manbah (110H). Kemudian timbul pula satu angkatan penyusun riwayat hidup Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam yang terkemuka antara mereka ialah Muhammad bin Ishaq (wafat, 152H) kemudian lapisan kedua, antara mereka ialah Al Waqidi (wafat, 207H) dan Muhammad bin Sa'ad (wafat pada tahun 230H) penyusun kitab Al-Tabaqat Al-Kubra.

Ahli sejarah sebulat suara mengatakan bahawa apa yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq merupakan satu-satunya maklumat (dokumen) sejarah Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam yang paling benar dan boleh dipegang. Tetapi malangnya kitab beliau yang berjudul Al Maghazi Wa Al Siyar telah hilang dan kehilangannya mengakibatkan hilangnya intisari perpustakaan di zaman itu. Setelah masa beredar setengah abad lamanya barulah timbul seorang jaguh yang lain iaitu Abu Muhammad Abdul Malek yang lebih dikenal dengan Ibnu Hisyam, beliau telah menghidangkan kepada kita saringan sejarah Rasulullah Sallalahu 'alaihi Wasallam dengan cara yang menarik sekali. Sebenarya apa yang dikarang oleh Ibnu Hisyam itu adalah kandungan "Al Maghazi Wa Al Siyar" yang dikarang oleh Ibnu Ishaq dalam bentuk ringkasan.

Ibnu Khillikan telah menegaskan dalam bukunya begini:

"Ibnu Hisyam ini ialah orang yang mengumpulkan Riwayat Rasulullah daripada Kitab "Al Maghazi Wa Al Siyar" yang dikarang oleh Ibnu Ishaq setelah disaring dan dibuat beberapa pembaharuan, tambahan dan ringkasan. Kemudian hasil itu dikenali dengan nama "Sirah Ibnu Hisyam". Akhimya barulah orang lain cuba mengikuti jejak langkah mereka ini dalam usaha mengarang dan menyusun sejarah hidup RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi Wasallam, terdapat antara mereka yang cuba membentangkan pelbagai aspek hidup RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi Wasallam. Sebahagian dari mereka yang lain pula cuba mengkaji sudut- sudut hidup Baginda yang tertentu, seperti Al Asfahani dalam bukunya "Dala'il Al Nu-buwwah" dan "Tanda-tanda Kenabian". Imam Tarmidzi pula dalam kitabnya (Al Asy Syamail) cuba menyingkap aspek yang tertentu dan begitu juga Ibn Al Qayyim Al Jauziy dengan bukunya "Zad Al Ma'ad".
=========================
sumber : Sirah Nabawiyah, Penulis : Syaikh Shifiyyurrahman Al-Mubarakfuri

Selengkapnya...

Peranan & Perlunya Riwayat Hidup Rasulullah Dalam Memahami Islam

Tujuan mengkaji riwayat hidup RasuluLlah dan penganalisaannya bukanlah semata-mata untuk melihat kejadian-kejadian dan episod-episod yang bersejarah ataupun memaparkan cerita cerita yang indah sahaja. Oleh yang demikian tidak seharusnya kita menganggap kajian sejarah hidup Rasulullah ini sama dengan membaca dan menala'ah sejarah para pemerintah (khalifah) di zaman purbakala.
Tujuan pokok dari kajian yang dimaksudkan ialah supaya setiap Muslim dapat memahami, menganggap dan menggambarkan bahawa hakikat zahir dan batin Islam semuanya teradun di dalam penghidupan Rasulullah itu sendiri. Gambaran dan anggapan ini akan timbul dan wujud setelah seseorang Muslim itu dapat memahami dengan benar segala hikmah dan keistimewaan prinsip-prinsip dan dasar-dasar Islam satu persatu terlebih dahulu.
Tegasnya kajian riwayat hidup Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam ini adalah suatu usaha mengumpul hakikat dan intisari dasar-dasar Islam kemudian memadan dan menyesuaikan dengan contoh Islam iaitu Nabi Muhammad Sallallahu 'alahi Wasallam.
Sekiranya perlu kita bahagikan tujuan-tujuan ini maka bolehlah dibahagikan seperti berikut:

1. Memahami peribadi Nabi Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam menerusi penghidupan dan suasana hidup Baginda sendiri. Ini adalah untuk menentukan Muhammad Sallallahu 'alaihi Wasallam itu bukan sebagai manusia pintar tetapi dianya adalah pesuruh Allah Subhanahu Wata'ala yang menerima Wahyu dan taufiq dariNya. Supaya manusia seluruhnya dapat meniru dan mengikut suatu contoh yang unggul dalam segenap lapangan hidup yang harmoni, dari itu juga dapat dijadikan sebagai dasar-dasar hidupnya. Andaikata manusia ingin mencari suatu contoh terbaik bersifat universal, mereka akan dapat semuanya di dalam kehidupan Muhammad Sallallahu 'alaihi Wasallam, maka tidak hairanlah mengapa Allah menjadikan Muhammad Sallallahu 'alaihi Wasallam itu sebagai contoh kepada umat manusia. Untuk demikian maka Allah telahpun menegaskan dalam Kitab SuciNya yang bermaksud:

"Sesungguhnya pada (diri) RasuluLlah itu menjadi contoh yang paling baik untuk (menjadi ikutan) kamu". (Al-Ahzab 33 :21)

Semoga kupasan tentang kehidupan Muhammad Salla lahu 'alaihi Wasallam boleh menolong manusia memahami dan mengecapi isi kandungan Al-Qur'an lantaran banyaknya ayat-ayat Al-Qur'an yang dihurai dan ditafsir-kan oleh kejadian dan peristiwa-peristiwa sejarah hidup Nabi Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam. Agar setiap Muslim dapat mengumpulkan seberapa banyak yang boleh perbendaharaan kebudayaan dan pengetahuan Islam yang sebenar samada pengetahuan bersangkutan dengan 'aqidah kepercayaan, hukum hakam' dalam Islam atau tatasusilanya. Lebih tegas lagi penghidupan Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam adalah satu gambaran dengan dimensinya yang jelas bagi prinsip-prinsip dan hukum-hukum Islam.

2. Membolehkan para pendidik penda'wah Islam mencontohi dan mengajar, mengikut sistcm pendidikan dan pengajaran yang sihat kerana Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam sendiri adalah sebagai pendidik, penasihat, guru dan pertunjuk yang utama, tidak pemah membuang masa begitu sahaja malah sentiasa mencari dan menyiasat jalan-jalan dan sistem-sistem pengajaran yang terbaik semasa baginda (SallaLlahu 'alaihi Wasallam) berda'wah.

Antara faktor yang menjadikan sejarah Nabi Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam ini mampu dan berupaya untuk sampai ke matlamat-matlamat tadi ialah kerana sejarahnya lengkap meliputi segenap bidang kehidupan sama ada segi kemanusiaan mahupun kemasyarakatan yang terdapat di kalangan manusia lain samada ianya sebagai seorang individu yang bebas dengan faham pembawaannya atau sebagai seorang anggota masyarakat yang cergas dan terpengaruh oleh unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakatnya.

Sejarah Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasalam menghidangkan kepada kita sejarnbak contoh utama bagi seorang pemuda yang waras; peribadinya yang dipercayai orang di kalangan keluarga dan sahabat; seorang manusia yang menyeru uniat manusia ke jalan Allah secara lemah-lembut dan bersopan-santun; seorang pejuang yang mengorbankan sepenuh usaha dan tenaga demi menyampaikan seruan Allah, seorang ketua negara yang mendayung bahtera pemerintahan dengan cekap dan pintar seorang suami yang halus pergaulannya, seorang bapak yang teliti dan bijak menyempurnakan kewajipan terhadap anak dan isteri, seorang ketua turus agung peperangan yang cergas, penuh dengan tektik strategi persediaannya dan seorang Muslim yang waras lagi bijak membahagikan dedikasinya kepada Allah, keluarga dan sahabat handai (Radiyallahu 'anhum ajma'in). Tidak syak lagi bahawa mempelajari sejarah hidup Muhammad Sallallahu 'alaihi Wasallam ialah memahami semua sudut kemanusiaan.

======================
sumber : Sirah Nabawiyah, Penulis : Syaikh Shifiyyurrahman Al-Mubarakfuri


Selengkapnya...

Seni musik

Suatu masalah yang menimpa mayoritas umat manusia termasuk umat Islam adalah masalah nyanyian dan musik. Terlepas dari hukum nyanyian dan musik tersebut, mayoritas umat manusia dan juga umat Islam menyukai sesuatu yang indah dan merdu didengar.Secara fitrah manusia menyenangi suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan suara binatang-binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu dan suara alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. Allah SWT. menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk manusia.

Disisi lain Allah SWT. telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah saw. Allah SWT. menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Halal dan haram telah jelas. Rasulullah saw. bersabda:

"إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُما مُشْتَبِهاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهاتِ اسْتَبرأ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ،

Artinya: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram” (HR Bukhari dan Muslim).

Sehingga jelaslah semua urusan bagi umat Islam. Allah SWT. tidak membiarkan umat manusia hidup dalam kebingungan, semuanya telah diatur dalam Syariah Islam yang sangat jelas sebagaimana jelasnya matahari di siang hari. Oleh karena itu semua manusia harus komitmen pada Syari’ah Islam yang merupakan pedoman hidup mereka.
Bagaimana Islam berbicara tentang nyanyian dan musik ? Istilah yang biasa dipakai dalam madzhab Hanafi pada masalah nyanyian dan musik sudah masuk dalam ruang lingkup maa ta’ummu bihi balwa (sesuatu yang menimpa orang banyak). Sehingga pembahasan tentang dua masalah ini harus tuntas. Dan dalam memutuskan hukum pada dua masalah tersebut, apakah halal atau haram, harus benar-benar berlandaskan dalil yang shahih (benar) dan sharih (jelas). Dan tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber landasan Islam saja yaitu Al- Qur’an, Sunnah yang shahih dan Ijma. Tidak terpengaruh oleh watak atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat atau budaya suatu masyarakat.

Sebelum membahas pendapat para ulama tentang dua masalah tersebut dan pembahasan dalilnya. Kita perlu mendudukkan dua masalah tersebut. Nyanyian dan musik dalam Fiqh Islam termasuk pada kategori muamalah atau urusan dunia dan bukan ibadah. Sehingga terikat dengan kaidah:

الأصل الأشياء في الإباحة

Hukum dasar pada sesuatu (muamalah) adalah halal (mubah).

Hal ini sesuai firman Allah SWT. :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Artinya:” Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS Al-Baqarah 29).

Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang shahih dan sharih. Rasulullah saw. bersabda:

"إنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلا تُضَيِّعُوها، وَحَدَّ حُدُوداً فَلا تَعْتَدُوها، وَحَرَّمَ أشْياءَ فَلا تَنْتَهِكُوها، وَسَكَتَ عَنْ أشْياءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيانٍ فَلا تَبْحَثُوا عَنْها"

Artinya:”Sesungguhnya Allah ‘Aza wa Jalla telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya) “ (HR Ad-Daruqutni).

الْحَلاَلُ ما أحَلّ الله في كِتَابِهِ. والْحَرَامُ ما حَرّمَ الله في كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمّا عفى عنهُ

Artinya: “Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dima’afkan” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )

Pada hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Ulama juga sepakat membolehkan nyanyian yang baik, menggugah semangat kerja dan tidak kotor, jorok dan mengundang syahwat, tidak dinyanyikan oleh wanita asing dan tanpa alat musik. Adapaun selain itu para ulama berbeda pendapat, sbb:

Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam kondisi berikut:
1. Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dll.
2. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
3. Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dll.

Madzhab Maliki, asy-Syafi’i dan sebagian Hambali berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru’ah. Adapun menurut asy-Syafi’i karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya:” Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati”.

Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya: Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang diharamkan sebagaimana disebutkan diatas.

Sedangkan hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb:

1- ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمروالمعازف

Artinya:”Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan". (HR Bukhari)

2 - عن نافع "أن ابن عمر سمع صوت زمارة راع فوضع اصبعيه في أذنيه وعدل راحلته عن الطريق وهو يقول يا نافع أتسمع فأقوله نعم فيمضي حتى قلت لا فرفع يده وعدل راحلته إلى الطريق وقال رأيت رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم سمع زمارة راع فصنع مثل هذا". ‏

Artinya:” Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:”Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?”. Saya menjawab:”Ya”. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :”Tidak”. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

3 - عن عمر أن بن حصين "أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم قال في هذه الأمة خسف ومسخ وقذف فقال رجل من المسلمين يا رسول اللّه ومتى ذلك قال إذا ظهرت القيان والمعازف وشربت الخمور".

Artinya: Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:” Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:”Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?” Rasul menjawab:” Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan” (HR At-Tirmidzi).

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy'ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, karena terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.

Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak jelas mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sedangkan hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shohih.

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola”. Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi.

Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata:” Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:” Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair:” Dengan ini akal seseorang bisa seimbang”. Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro’(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

Pertama: Lirik Lagu yang Dilantunkan.
Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara', maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara', maka dilarang.

Kedua: Alat Musik yang Digunakan.
Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.

Ketiga: Cara Penampilan.
Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara' seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

Keempat: Akibat yang Ditimbulkan.
Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi' (menutup pintu kemaksiatan) .

Kelima: Aspek Tasyabuh.

Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ تَشَبّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya:”Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Keenam: Orang yang menyanyikan.
Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا(32)

Artinya:”Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”(QS Al-Ahzaab 32)

Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Amiin.

===================
sumber : fikih kontemporer, Ahmad Sarwat


Selengkapnya...

Televisi

Televisi sebenarnya adalah bagian dari kemajuan teknologi yang memiliki kemampuan lebih. Karena televisi bisa menyiarkan sebuah program ke banyak orang dalam waktu yang sangat cepat dan merata. Media televisi terdiri dari suara dan gambar yang bergerak. Sehingga memenuhi dua indera sekaligu yaitu penglihatan dan pendengaran.

Dibandingkan dengan media cetak seperti koran dan majalah, televisi memiliki kelebihan. Karena bersuara dan juga bergambar dengan gerakan. Bahkan dibandingkan radio, televisi memiliki kelebihan dari segi gambar. Menurut para ahli jurnalistik, satu buah gambar akan lebih bercerita daripada seribu kata-kata. Apalagi gambar itu hidup dan bergerak serta bersuara.

Selain itu televisi adalah media yang murah karena begitu seseorang memiliki televisi, praktis tidak ada pengeluaran rutin lagi. Kecuali bila berlangganan TV kabel atau parabola berlangganan. Bila dibandingkan dengan koran atau majalah yang harus dibeli dahulu baru bisa dinikmati, maka televisi tergolong media yang murah bahkan tanpa biaya.

Sedemikian efektifnya televisi dalam menyampaikan pesan sehingga seorang Hitler sekalipun merasa perlu untuk memanfaatkan televisi dalam rangka menyebarkan pahamnya. Konon, siaran televisi secara resmi pertama kali mengudara adalah siara langsung pidato Hitler di depan massanya.

Namun dibalik manfaatnya, membangun sebuah stasiun televisi lengkap dengan programnya bukan harga yang murah. Diperlukan investasi ratusan milyar untuk bisa mengudara secara nasional. Selain membutuhkan perizinan khusus, tekonologi yang mahal, juga diperlukan banyak sekali sumber daya manusia mulai dari programer, kameraman, penyiar hingga para wartawan televisi pencari berita. Ini belum termasuk para seniman dan pekerja di rumah-rumah produksi yang memproduksi paket-paket tayangan khusus televisi. Sehingga perusahaan yang berinvestasi di bidang pertelevisian haruslah perusahaan yang kuat terutama dari segi pendanaan. Dan bila sudah sampai titik itu, maka yang ada dalam pemikiran para pengusaha tidak lain adalah bagaimana memilirkan uangnya kembali, kalau bisa menguntungkan.

Namun masalah ini tentu saja tidak mudah. Karena pemasukan sebuah statsiun televisi hanya mengandalkan dana dari iklan. Sehingga bisa dikatakan bahwa perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi adalah ‘pemilik’ televisi tersebut. Mereka-lah yang menentukan apakah sebuah tayangan itu punya nilai jual atau tidak. Bila punya nilai jual maka mereka baru mau beriklan di spot itu dan bila tidak, maka jangan harap tayangan itu akan muncul di layar kaca.

Sayangnya sampai hari ini insan pertelevisian dan juga para pengiklan masih belum memiliki tolok ukur yang baku dan akurat tentang nilai jual tersebut. Sehingga mereka hanya berpegang pada SRI (Survey Rating Indonesia). Data dari SRI inilah yang sekarang ini dijadikan patokan oleh mereka dalam menentukan nilai sebuah tayangan. Ukurannya terlalu sederhana, yaitu jumlah penonton yang menonton sebuah tayangan. Tanpa bisa membedakan detail para penonton itu baik dari segi usia, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan lainnya. Padahal dalam dunia periklanan, menentukan sasaran calon konsumen sangat penting dan menentukan.

Sehingga berangkat dari sekedar sebuah asumsi sederhana itu, jadilah nilai rating suatu tayangan menentukan harga jual slot iklannya. Para pengusaha televisi saat ini hanya berpikir bagaimana iklan masuk sebanyak-banyaknya untuk membiayai tayangan yang kalau bisa diproduksi dengan biaya semurah-murahnya. Selisih dari kedua harga itu adalah keuntungannya.

Jadi sekarang tititk masalahnya ada pada bagaimana membuat tayangan dengan biaya semurah mungkin tapi memiliki rating setinggi mungkin. Akibat mudah diduga, kualitas tayangan itu sudah tidak menjadi tujuan utama lagi. Dan dalam pola kehidupan yang permisif, logika ini menggiring mereka untuk memproduksi apa saja walau pun harus bertabrakan dengan kualitas tayangan itu sendiri baik dari sisi moral, etika, seni, estetika bahkan kalau perlu agama.

Maka bertaburanlah tayangan-tayangan yang tidak mendidik seperti telenovela impor atau sinetron lokal yang ceritanya berputar-putar njelimet dan dipenuhi dengan tokoh jahat, cerita perselingkuhan, suami atau istri main serong hingga persekongkolan jahat. Sayangnya, semua itu pun tidak ditunjang dengan seni peran yang baik, sehingga sangat terasa dangkal, ditambah dengan pengambilan gambar yang terkesan asal jadi dan asal kejar tayang, akting yang tidak jelas dan sekian banyak keluhan lainnya dari para seniman film sejati.

Kekonyolan tayangan televisi pun diperkuat dengan membeludaknya kuis-kuis yang hampir seragam, eksploitasi seksual yang semakin beragam dan merata hampir di semua televisi.

Bahkan yang sekarang semakin menjamur di hampir semua televisi nasional adalah tayangan dari dunia hitam dan kriminalitas, dunia paranormal hingga berbagai macam bentuk pengobatan alternatif.

Belum lagi ekploitasi tubuh wanita dan acara yang berbau pornografi yang juga mejadi menu hampir di semua televisi.

Sayangnya langkah seperti ini kelihatan seragam di semua stasiun televisi nasional bahkan di manca negara. Lalau masalah hak pemirsa untuk mendapatkan program tayangan yang berkualitas menjadi terabaikan. Pemirsa televisi dianggap pasien yang pasrah menerima apa saja dan tidak akan pernah protes.

Memang pada jam tertentu, ada juga tayangan yang berbau agama, seperti pada dini hari dimana masih ada slot waktu buat para tokoh agama untuk tampil sekitar setengah jam. Sayangnya, slot waktu itu bukanlah waktu yang banyak ditonton orang, karena terlalu pagi dan masih banyak yang asyik lelap di tempat tidur. Kalau pun ada yang nonton, maka hanya orang-orang ‘shaleh’ saja yang masih sempat bangun pagi. Sedangkan slot waktu lainnya apalagi prime time jelas tidak menyisakan satu kesempatan pun untuk tayangan agamis.

Memang benar di bulan Ramadhan hampir semua stasiun televisi kompak menampilkan syiar Islam, tapi bukan berarti tanpa kritik. Karena tokoh-tokoh yang tampil tidak lain itu-itu juga. Para artis yang setiap hari tampil membuka aurat tiba-tiba berkerudung dan pakai baju muslim. Habis lewat Ramadhannya, buka-bukaannya balik lagi. Wah …

Hukum Menonton Acara Televisi

Para ulama masa kini berbeda pendapat atas hukum menonton televisi ini. Penyebabnya adalah penilaian mereka terhadapt nilai-nilai negatif yang ada dalam tayangan itu sesuai dengan kondisi negara masing-masing.

Mereka yang agak ketat menjaga dampak negatif itu umumnya melarang menonton acara televisi, paling tidak ini berlaku di beberapa pesantren yang memang tidak membolehkan para santri menonton televisi. Meski bukan merupakan bentuk pelarangan secara mutlak, namun umumnya pesantren itu melarang santrinya menonton televisi kecuali pada acara tertentu.

Sebagian ulama lainnya membolehkan dengan syarat bahwa tayangan itu memang bisa dipilih yang benar-benar bermanfaat dan bermutu.

====================
sumber : fikih kontemporer, Ahmad Sarwat


Selengkapnya...

Euthanasia

Euthanasia adalah sebuah istilah kedokteran. Istilah lain yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut (memudahkan kematian).

Euthanasia sendiri sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Sedangkan yang dimaksud ‘taisir al-maut al-fa'al’ (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Beberapa contoh di antaranya:

1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan mempergunakan alat pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.

Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut al-munfa'il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya seperti berikut:

1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati --padahal masih ada kemungkinan untuk diobati-- akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.

2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal almukhkhi (kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan --tanpa diberi pengobatan-- apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.

At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah kelainan pada tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kemampuan/kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya.

Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya.

Dalam contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Adapun contoh kedua dari eutanasia positif ini kita tunda dahulu pembahasannya setelah kita bicarakan eutanasia negatif.


EUTANASIA NEGATIF (MENGHENTIKAN/TIDAK MEMBERIKAN PENGOBATAN
)

Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (eutanasia negatif) sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu --baik dalam contoh nomor satu maupun nomor dua-- berkisar pada "menghentikan pengobatan" atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:

"'Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.' Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. 'Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.' Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya."
Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi'in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka'ab dan Abu Dzar radhiyallahu'anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.

Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam "Kitab at-Tawakkul" dari Ihya' Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.

Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib.

Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala.

Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma'ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) --kalau boleh diistilahkan demikian-- semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.

Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara' --bila keluarga penderita mengizinkannya-- dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.


MEMUDAHKAN KEMATIAN DENGAN MENGHENTIKAN PENGGUNAAN ALAT BANTU PERNAPASAN

Sekarang kami akan menjawab contoh kedua dari eutanasia positif menurut pertanyaan tersebut --bukan negatif-- yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia dianggap sudah "mati" atau "dihukumi telah mati" karena jaringan otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu telah rusak.

Kalau yang dilakukan dokter itu semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian, keadaannya seperti keadaan lain yang diistilahkan dengan ath-thuruq al-munfa'ilah (jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).

Karena itu, kami berpendapat bahwa eutanasia seperti ini berada di luar daerah "memudahkan kematian dengan cara aktif" (eutanasia positif), tetapi masuk ke dalam jenis lain (yaitu eutanasia negatif)

Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syara', tidak terlarang. Lebih-lebih peralatan-peralatan tersebut hanya dipergunakan penderita sekadar untuk kehidupan yang lahir --yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah/denyut nadi saja-- padahal dilihat dari segi aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua itu telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi telah mengemukakan pendapat seperti ini sejak beberapa tahun lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu seminar berkala yang diselenggarakan oleh Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu Kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fiqih dan dokter itu menerima pendapat tersebut.
Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberi petunjuk kepada kita ke jalan Islam ini, dan tidaklah kita akan mendapat petunjuk kalau bukan Allah yang menunjukkan kita.

==================
Rujukan utama : Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (Fiqih Kontemporer)


Selengkapnya...

Transplantasi organ Manusia

Sebenarnya, kajian yang membahas hukum syariah tentang praktek transplantasi jaringan maupun organ dalam khazanah intelektual dan keilmuan fikih Islam klasik relatif jarang dan hampir tidak pernah dikupas oleh para fukaha secara mendetail dan jelas yang mungkin karena faktor barunya masalah ini dan dimensi terkaitnya yang komplek yang meliputi kasus transplantasi.
Oleh karena itu tidak heran jika hasil ijtihad dan penjelasan syar’i tentang masalah ini banyak berasal dari pemikiran para ahli fikih kontemporer, keputusan lembaga dan institusi Islam serta simposium nasional maupun internasional Mengingat
transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern, pada dasarnya secara global tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ. Dalam simposium Nasional II mengenai masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia.

Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.) Meskipun demikian sangat perlu dan harus ada penjelasan hukum syariah yang lebih detail dan tegas dalam masalah ini dan tidak boleh ta’mim (generalisasi) hukum terlepas dari batas dan ketentuan serta syarat-syarat lebih lanjut agar tidak keluar dari hikmah kemanusiaan dan norma agama serta moral samawi sehingga menjadi praktek netralitas etis yang tidak sesuai dengan budaya manusiawi dan keagamaan. Masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu sebagai berikut :

Pertama : Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama.
Kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain yaitu sbb:

A. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang lain.
a.1. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang hidup.
a.2. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang mati.

B. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu binatang.
b.1. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari binatang tidak najis/halal.
b.2. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari binatang najis/haram.

Masalah Pertama :
Penanaman organ/jaringan yang diambil dari tubuh ke daerah lain pada tubuh tersebut. Seperti, praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab. ( lihat, Dr. Al-Ghossal, Naql wa Zar’ul A’dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A’dha:126).

Masalah Kedua :
Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain.
A. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain.
A.1. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup. Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh.

At+as dasar firman Allah:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ(195)

Artinya :"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. " (QS Al Baqarah:195.)

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya:"Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu" (QS An-Nisa 29)

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya:"Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ..." (QS Al-Maa-idah 2).

Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan hanya harus memenuhi syarat-syarat berikut dalam prakteknya yaitu :

1. Tidak akan membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.
2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan.
3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat.
4. Boleh dilakukan bila kemumgkinan keberhasilan transplantasi tersebut peluangnya optimis sangat besar. (Lihat hasil mudzakarah lembaga fiqh islam dari Liga Dunia Islam/Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985 M.)

Namun demikian, ada pengecualian dari semua kasus transplantasi yang diperbolehkan yaitu tidak dibolehkan transplantasi buah zakar meskipun organ ini ganda karena beberapa alasan sbb. :
1. Merusak citra dan penampilan lahir ciptaan manusia .
2. Mengakibatkan terputusnya keturunan bagi donatur yang masih hidup.
3. Dalam hal ini transplantasi tidak dinilai darurat dan kebutuhannya tidak mendesak.
4. Dapat mengacaukan garis keturunan. Sebab menurut ahli kedokteran, organ ini punya pengaruh dalam menitiskan sifat keturunan.(Ensiklopedi kedokteran modern edisi bahasa arab vol. III hal. 583, Dr. Albairum, Ensiklopedi Kedokteran Arab, hal 134.)

A.2. Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari orang mati. Dalam kasus ini penanaman jaringan/organ tubuh diambil dari orang yang kondisinya benar-benar telah mati (kematian otak dan jantungnya sekaligus). Organ/jaringan yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara khusus agar dapat difungsikan. ( Kajilah QS. 18:9-12, kaedah-kaedah hukum Islam al.: " Suatu hal yang telah yakin tidak dapat dihilangkan dengan suatu keraguan/tidak yakin ", " Dasar pengambilan hukum adalah tetap berlangsungnya suatu kondisi yang lama sampai ada indikasi pasti perubahannya." )

Sesungguhnya telah banyak fatwa dan konsensus mufakat para ulama dari berbagai muktamar, lembaga, organisasi dan institusi internasional yang membolehkan praktek transplantasi ini diantaranya adalah sbb. :

Konperensi OKI ( di Malaysia, April 1969 M ). dengan ketentuan kondisinya darurat dan tidak boleh diperjualbelikan.

Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam ( dalam keputusan mudzakarohnya di Mekkah, Januari 1985 M.)

Majlis Ulama Arab Saudi ( dalam keputusannya no. 99 tgl. 6/11/1402 H.)
Panitia Tetap Fawa Ulama dari negara-negara Islam diantaranya seperti : * Kerajaan Yordania dengan ketentuan ( syarat-syarat ) sbb. :

1. Harus dengan persetujuan orang tua mayit / walinya atau wasiat mayit.
2. Hanya bila dirasa benar-benar memerlukan dan darurat.
3. Bila tidak darurat dan keperluannya tidak urgen atau mendesak, maka harus memberikan imbalan pantas kepada ahli waris donatur ( tanpa transaksi dan kontrak jual-beli ).

Negara Kuwait ( oleh Dirjen Fatwa Dept. Wakaf dan Urusan Islam keputusan no.97 tahun 1405 H. ) dengan ketentuan seperti di atas. * Rep. Mesir. ( dengan keputusan Panitia Tetap fatwa Al-Azhar no. 491 ) *
Rep. Al-Jazair ( Keputusan Panitia Tetap Fatwa Lembaga Tinggi Islam Aljazair, 20/4/1972)

Disamping itu banyak fatwa dari kalangan ulama bertaraf internasional yang membolehkan praktek tersebut diantaranya adalah :

1. Abdurrahman bin Sa'di ( 1307-1367H.),
2. Ibrahim Alyakubi ( dalam bukunya Syifa Alqobarih ),
3. Jadal Haq ( mufti Mesir dalam majalah Al-Azhar vol. 7 edisi Romadhon 1403),
4. DR. Yusuf Qordhowi ( dalam Fatawa Mu'ashiroh II/530)
5. DR. Ahmad Syarofuddin ( hal. 128 ),
6. DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq Ausath, edisi 3725, Rabu 8/2/1989 ),
7. DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.),
8. DR. Mahmud As-Sarthowi ( dalam bukunya Zar'ul A'dho, Yordania),
9. DR. Hasyim Jamil ( majalah Risalah Islamiyah, edisi 212 hal. 69).

Secara umum dan pada prinsipnya mereka membolehkannya dengan alasan dan dalil sebagai berikut:

a. Ayat-ayat tentang dibolehkannya mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-benar darurat. al. QS. 2:173, 5:3, 6:119,145.
b. Firman Allah swt. yang artinya :" ...dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." QS. Al-Maidah (5): 32.
c. ayat-ayat tentang keringanan dan kemudahan dalam Islam al.QS. 2:185, 4:28, 5:6, 22:78
d. Hal itu sebagai amal jariyah bagi donatur yang telah mati dan sangat berguna bagi kemanusiaan.
e. Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang berlaku 'itsaar' tanpa pamrih dan dengan tidak sengaja membahayakan dirinya atau membinasakannya.QS. 95:9
f. Kaedah-kaedah umum hukum Islam yang mengharuskan dihilangkannya segala bahaya. Sebenarnya hampir semua ulama mendukung praktek ini asalkan mengikuti ketentuan-ketentuan kaedah syari'ah kecuali sebagian kecil dari mereka yang keberatan dan tidak memperbolehkannya seperti : Syeikh As-Sya'rowi ( harian Alliwa edisi 226, 27/6/1407), Al-Ghomari ( dalam bukunya ttg. haramnya transplantasi ), Assumbuhli ( Qodhoya fiqhiyyah mu'ashiroh, hal.27), Hasan Assegaf ( dalam bukunya ttg transplantasi) dan DR. Abd. Salam Asssakri ( dalam bukunya ttg transplantasi) dan lainnya.

Alasan mereka secara umum adalah keberatan mereka terhadap praktek transplantasi karena dapat berakibat dan menjurus kepada tindakan merubah dan merusak kehormatan jasad manusia yang telah dimulyakan Allah. Semuanya itu sebenarnya dapat ditangkal dan diatasi atau ditanggulangi dengan mengikuti ketentuan-ketentuan medis dan syari'eh yang berlaku dengan penuh kehati-hatian dan amanah. ( lihat, QS. 17:70, 4:29. )

B. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang.

B1. Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak (sapi, kerbau, kambing ). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan dan termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya bagi yang sakit. b.2. Kasus Kedua : Binatang tersebut najis/ haram seperti, babi atau bangkai binatang dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat dan tidak ada pilihan (alternatif organ) lain. (lihat; QS Al Baqarah:173, Al Maidah:3, Majma' Annahr : II/535, An-Nawawi dalam Al-Majmu' : III/138).


PENUTUP (CATATAN):

Mengingat kondisi darurat, kebutuhan dan kompleksitas dimensi masalah serta keterbasan jaringan/organ transplan yang layak, maka menurut hemat saya semua kasus yang diperbolehkan di ataspun dalam prakteknya harus dilakukan dengan ketentuan skala prioritas sebagai berikut :
I. Segi Resipien atau Reseptor harus diperhatikan hal-hal berikut untuk didahulukan antara lain:
1. Keyakinan agamanya (QS. Al Hujurat: 1, Ali Imran: 28, Al Mumtahanah: 8).
2. Peranan, Jasa atau kiprahnya dalam kehidupan umat. (QS. Shaad: 28)
3. Kesholehan, ketaatan dan pengetahuannya ttg ajaran Islam. (Al Mujadalah: 11)
4. Hubungan kekerabatan dan tali silatur rahmi ( QS. Al Ahzab: 6)
5. Tingkatan kebutuhan dan kondisi gawat daruratnya dengan melihat persediaan.

II. Segi Donor juga harus diperhatikan ketentuan berikut dalam prioritas pengambilan:
 Menanam jaringan/organ imitasi buatan bila memungkinkan secara medis.
 Mengambil jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan karena dapat tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya.
 Mengambil dari organ/jaringan binatang yang halal, adapun binatang lainnya dalam kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal. Dalam sebuah riwayat atsar disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat dengan barang haram.” Tetapi dalam kondisi ‘darurat syar’i’ sebagaimana dalam kaedah fiqh disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat” (darurat membolehkan pemanfaatan hal yang haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuzaal” (Bahaya harus dihilangkan) yang mengacu pada ayar dharurat seperti surat Al Maidah: 3 maka boleh memanfaatkan barang haram dengan sekedar kebutuhan dan tidak boleh berlebihan dan jadi kebiasaan sebab dalam kaedah fiqh dijelaskan “Adh Dharurat Tuqaddar Biqadarihaa” (Peertimbangan Kondisi Darurat Harus Dibatasi Sekedarnya) sebagaimana mengacu pada batasan dalam ayat darurat tersebut diatas; fii makhmashah ghaira mutajanifin lill itsmi (karena kondisi ‘kelaparan’ tanpa sengaja berbuat dosa) atau dalam surat Al Baqarah: 173 dibatasi; famanidh dhuturra ghaira baaghin walaa ‘aadin falaa itsma ‘alaih (Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa/darurat sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya).

4. Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti penjelasan di atas.
5. Mengambil dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas disamping orang tersebut adalah mukallaf ( baligh dan berakal ) dengan kesadaran, pengertian, suka rela atau tanpa paksaan. Wallahu A'lam Bissawab
000000000000000000

Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami dalam qorornya no. 1 pada Muktamar ke empat tanggal 6-11 Pebruari 1988 di Jeddah menyatakan bahwa donor organ tubuh manusia itu terbagi menjadi beberapa bentuk. Dari masing-masing bentuk itu ada hukumnya sendiri-sendiri sesuai dengan pembahasan para ulama dalam muktamar itu.

Secara umum bisa disimpulkan antara lain :
1. Boleh memindahkan organ / bagian manusia hidup ke jasad manusia hidup lainnya. Bila organ /bagian itu bisa diperbaharui secara otomatis seperti donor darah dan transplantasi kulit.
2. Diharamkan mendonorkan bagian organ tubuh yang vital (menentukan hidup mati) bagi nyawa dimana pendonor itu adalah manusia yang masih hidup. Seperti donor hati, jantung dan lainnya.
3. Begitu juga diharamkan mendonorkan bagian organ tubuh yang akan mengurangi peran pokok kehidupan pendonor sedangkan dia masih hidup. Meski tidak langusng berkaitan dengan nyawa pendonor. Seperti kornea kedua mata.
4. Sedangkan donor organ dari tubuh manusia yang telah mati kepada manusia hidup yang nyawanya sangat tergantung dari cangkok itu atau pun yang menambah kemampuan pokok manusia dibolehkan. Dengan syarat bahwa hal itu harus seizin mayat itu sejak masih hidup atau seizin dari para ahli warisnya atau izin dari wali muslimin bila mayat itu tidak dikenal identitas dan ahli warisnya.

Perlu ditegaskan bahwa semua bentuk donor organ yang disebutkan di atas tersebut harus bukan merupakan jual-beli, karena jual beli organ itu diharamkan.
Namun pengeluaran jumlah tertentu dari penerima donor demi ungkapan rasa terma kasih dan syukur kepada pihak donor, masih menjadi bahan perbedaan dan ijtihad para ulama.
Demikian Majma` Al-Fiqh Al-Islami dalam qorornya.

Sedangkan Dr Yusuf Al-Qaradhawi menuliskan dalam fatwa kontemporernya : BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA DIA MASIH HIDUP?
Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.
Namun demikian, perlu diperhatikan disini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah:

"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..." (an-Nur: 33)

Akan tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.

Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.

Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.

Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?

Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya, bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara'.

Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.

Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.

Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.

Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.
Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?
Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.

Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."
Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.

Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah seorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor), seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang (mengutangkan sesuatu kepadanya).

Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?
Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.
Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula halnya orang gila.

Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang dibawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal organ tubuh.

MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM

Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh dilakukan terhadap orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, menurut pendapat saya, orang kafir yang memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan Islam, orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?
Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim dan satunya lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yanglain ..." (atTaubah: 71)

Bahkan seorang muslim yang saleh dan komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya melakukan ketaatan kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan ahli maksiat yang mempergunakan nikmat-nikmat Allah hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain.

Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi, sebagaimana firman Allah:

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..." (al-Anfal: 75)

Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada orang tertentu, sebagaimana ia juga boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus menangani masalah ini (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang merawat dan memelihara organ tersebut dengan caranya sendiri, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan.

TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH

Perlu saya ingatkan disini bahwa pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu --sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- adalah tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk konsumsi orang-orang kaya-- yang tidak lepas dari campur tangan "mafia baru" yang bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.

Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor --tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara' dan terpuji, bahkan Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:

"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?

Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah dia berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti?

Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan mendatangkan kemelaratan --meskipun kemungkinan itu kecil-- maka tidaklah terlarang dia mewasiatkannya setelah meninggal dunia nanti. Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai.

Umar r.a. pernah berkata kepada sebagian sahabat mengenai beberapa masalah, "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu dan tidak memberikan mudarat kepada dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang dapat dikatakan kepada orang yang melarang masalah mewasiatkan organ tubuh ini.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit yang sangat dipelihara oleh syariat Islam, yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."1
Saya tekankan disini bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.

Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.

Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf karena memang belum ada pada zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang kewajiban memandikannya, mengafaninya, menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan sebagainya.

Mendonorkan sebagian organ tubuh sama sekali tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan.

BOLEHKAH WALI DAN AHLI WARIS MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT?

Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi ahli waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?
Ada yang mengatakan bahwa tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau ahli warisnya tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.
Namun begitu, sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia maka dia tidak dianggap layak memiliki sesuatu. Sebagaimana kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa tubuh si mayit menjadi hak wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi syara' melarang mematahkan tulang mayit atau merusak tubuhnya itu karena hendak memelihara hak orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati.

Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan hak kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika terjadi pembunuhan dengan sengaja, sebagaimana difirmankan oleh Allah:

"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)

Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan hukum qishash jika mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau banyak. Atau memaafkannya secara mutlak karena Allah, pemaafan yang bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti yang disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:
"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka mempunyai hak mempergunakan sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai kadar manfaat yang diperoleh orang sakit yang membutuhkannya meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat pahala karena tanamannya dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan, atau terkena gangguan, hingga terkena duri sekalipun ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat --setelah meninggal dunia-- dari doa anaknya khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka untuknya. Dan telah saya sebutkan bahwa sedekah dengan sebagian anggota tubuh itu lebih besar pahalanya daripada sedekah dengan harta.

Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama si sakit masih memanfaatkan organ yang didonorkan itu.

Sebagian saudara di Qatar menanyakan kepada saya tentang mendermakan sebagian organ tubuh anak-anak mereka yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga mereka tidak dapat bertahan hidup. Proses itu terjadi pada waktu mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia. Sedangkan beberapa anak lain membutuhkan sebagian organ tubuh mereka yang sehat --misalnya ginjal-- untuk melanjutkan kehidupan mereka.

Saya jawab bahwa yang demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala, insya Allah. Karena yang demikian itu menjadi sebab terselamatkannya kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan para orang tua untuk melakukan kebaikan yang akan mendapatkan pahala dari Allah. Mudah-mudahan Allah akan mengganti untuk mereka -- karena musibah yang menimpa itu-- melalui anak-anak mereka.

Hanya saja, para ahli waris tidak boleh mendonorkan organ tubuh si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena yang demikian itu merupakan haknya, dan wasiat atau pesannya itu wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.

BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH

Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para wali untuk mendonorkan sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang tidak diketahui identitasnya, dan tidak diketahui ahli waris dan walinya, untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang sakit dan yang terkena musibah?

Tidak jauh kemungkinannya, bahwa yang demikian itu diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau karena suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya dulu si mayit berwasiat agar organ tubuhnya tidak didonorkan.

MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM

Adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.

Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, sesuai dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi itu bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.

Kalau begitu, maka yang benar adalah bahwa kekafiran atau keislaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri, yang oleh Al-Qur'an ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud disini bukanlah organ yang dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi, sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengannya adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:

"... lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu mereka dapat memahami ..." (al-Hajj: 46) "... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) ..." (al-A'raf: 179)
Dan firman Allah:
"... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis ..." (at-Taubah: 28)
Kata najis dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).


Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.

PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM

Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar kedaruratannya," dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.

Mungkin juga ada yang mengatakan disini bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur'an dalam empat ayat, sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu kulitnya-- padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.

Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw. pernah melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, "Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak Maimunah." Lalu beliau bersabda:

"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."2

Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?
Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara' ialah mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang didalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah, kencing, tinja, dan semua kotoran; dan manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.

TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR

Akhirnya pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain. Apakah hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah pelir ini tidak diperkenankan memindahkannya dari seseorang kepada orang lain?
Menurut pendapat saya, memindahkan buah pelir tidak diperbolehkan. Para ahli telah menetapkan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang memindahkan karakter khusus seseorang kepada keturunannya, dan pencangkokan pelir ke dalam tubuh seseorang, yakni anak keturunan --lewat reproduksi-- akan mewariskan sifat-sifat orang yang mempunyai buah pelir itu, baik warna kulitnya, postur tubuhnya, tingkat inteligensinya, atau sifat jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain.
Hal ini dianggap semacam percampuran nasab yang dilarang oleh syara' dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada orang lain sebagai bapaknya, dan lainnya, yang menyebabkan terjadinya percampuran keluarga atau kaum yang tidak termasuk bagian dari mereka. Maka tidaklah dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa buah pelir bila dipindahkan kepada orang lain berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal.

Demikian pula jika otak seseorang dapat dipindahkan kepada orang lain, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.

==============
sumber : fikih kontemporer, Ahmad Sarwat


Selengkapnya...

Jadilah Penerang Bagi Orang Lain "BLOG MAS CAHYO" 'HOME,FIKIH,HADIS,AL-QURAN,SHALAT,OASE ISLAM,DAN TUTORIAL'

Konsultasi Skripsi

RPP - SILABUS

Ebook CHM Murah

Tausiyah


Allah Ta'ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
"Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan menegakkan shalat serta menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar." (al-Bayyinah: 5)
Allah Ta'ala berfirman pula:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
"Samasekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan dan engkau sekalian." (al-Haj: 37)
Allah Ta'ala berfirman pula:
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
"Katakanlah - wahai Muhammad ,sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah." (ali-lmran: 29)

Followers

BLOG MAS CAHYO Headline Animator

Buku Tamu

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Chatbox

 

Copyright © 2009 by BLOG MAS CAHYO

HEAD LINE NEWS BLOG MAS CAHYO | HOME FIKIH HADIS AL-QURAN FATWA OASE ISLAM DOWNLOAD TUTORIAL