06 Januari 2010

Cara Zakat Barang Dagangan

Tidak`ada zakat pada barang dagangan dengan ukuran, nishab dan haul tertentu, yang ada hanya shadaqah yang mutlak tidak di batasi dengan nishab, haul atau kadar tertentu yang harus dikeluarkan. Hal itu karena tidak ada dalil yang menunjukan demikian sehingga kita kembali kepada bara’ah asliyyah (kebebasan asal),dan kita telah ketahui bahwa pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam perdagangan itu telah ada dengan berbagai macamnya, namun demikian tiada dalil yang shahih sampai kepada kita, yang menujukkan kewajiban mengeluarkan zakat secara khusus dari barang dagangan. Hal ini didukung oleh sabda Nabi Shallallahu' alaihi Wasallam yang mengatakan (artinya) “Tidaklah kewajiban seorang hamba untuk mengeluarkan zakat dari hamba sahayanya dan kudanya” (H.R Bukhari dari Abu Hurairah), dimana keumuman hadits ini menunjukan tidak adanya zakat pada keduannya sama sekali dalam bentuk apapun termasuk jika menjadi barang dagangan..

Secara terperinci alasan pendapat ini adalah sebagai berikut :
· Tidak adanya dalil yang shahih dan jelas dalam masalah ini.
· Kaidah “Al bara’atul asliyyah” yakni asal tiap sesuatu itu lepas dari beban hukum.
· Adanya barang dagangan di zaman Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, namun demikian tidak dinukilkan kepada kita hadits yang mewajibkan kepada kita akan diwajibkanya zakat padanya.
· Keumuman hadits “Tidaklah ada kewajiban zakat pada budak seorang muslim dan kudanya”. Shiddiq Hasan Khan mengatakan : Dhahir hadits itu tidak ada kewajiban zakat pada harta pada semua keadaan (termasuk dagangan .pent). [ar Raudhatun Nadiyyah 1:477]

Abu Dawud dan Ibnu Hazm meriwayaykan dengan sanadnya yang sampai kepada Qais bin Abi ‘Arzah ia berkata : Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam melewati kami lalu beliau bersabda: “Wahai para pedagang, sungguh (pada) perdagangan itu (didapati) kata-kata yang tiada faedahnya dan sumpah-sumpah maka bersihkanlah dengan shadaqah. "[HR. Abu Dawud kitabul buyu’ bab fit tijarah yukhalituhal halif wal laghwi3/403 no: 3326 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam shahih Sunan Abi Dawud pada nomor yang sama. dan diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitabul buyu’ bab ma ja-a fittujjar watasmiyatunnabiy iyyahum 3/514 no:1208 dan berkata Tirmidzi: hadits ini Hasan Shahih, Nasa’I dalam kitab Aiman dan Nudzur bab lagwhi wal yamin 7/200 No: 3808 dan 3809 dan Ibnu Majah dalam kitab Tijarat bab tawaqqi fil hijarat 3/9/ no: 2145 ].

Ibnu Hazm berkata: Ini adalah shadaqah yang mutlak tidak terbatas, yakni sesuai yang senangi hati mereka dan itu menjadi kaffarah (penghapus) apa yang menodai perniagaan dari sesuatu yang tidak diperbolehkan dan sesuatu yang tidak berfaedah serta permainan. [ Al Muhalla 5/235].

Nafi’ bin al khuzy berkata: saya duduk bersama Abdurrahman bin Nafi’ maka datanglah Ziyad al Bawwab lalu beliau berkata : Sesunguhnya Amirul Mukminin - yakni Abdullah bin Zubair – berkata : kirimkanlah zakat hartamu, maka ia berdiri dan mengeluarkan 100 dirham dan berkata kepadanya : sampaikan kepadanya salam dan katakan kepadanya sesungguhnya zakat itu hanya pada “Nadh”. Nafi’ berkata maka saya bertemu Ziyad dan aku katakan kepadanya : Apakah engkau sudah sampaikan kepadanya ? ia berkata : Ya. Aku katakan : Lalu apa yang dikatakan Ibnu Zubair ? Ia menjawab : Ya benar. [ Riwayat Abdurrozzaq dalam kitab al Mushannaf 4/101/7119 dan Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla 5/ 236]. Tentang arti “Nadh”, Al Fayyumy berkata: orang-orang Hijaz menamakan dirham dan dinar dengan sebutan “nadh” atau “naadh” (dengan memanjangkan nun). [Al Mishbahul Munir hal 610 huruf nun dan dhadh bertasydid] . Abu ‘Ubaid berkata: mereka menamakan “nadh” jika telah berubah menjadi uang dari sebuah barang. [ Qamus Muhith hal 844 ].

Ibnu Juraij berkata, ‘Amr bin Dinar berkata kepada saya: Saya tidak berpendapat adanya zakat kecuali pada al ‘ain . [al mushonnaf karya Abdurrazzaq 4/101 no: 7120]. Arti ”Al ‘ain “, Al Fayyumi menerangkan, bahwa kata ini berarti beberapa makna diantaranya, emas yang ditimpa jadi uang-uang dinar dan terkadang yang belum ditimpa juga disebut demikian] [ Mshbahul Munir hal: 440]

Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu ‘Ubaid ia berkata : telah mengkhabarkan saya Ismail bin Ibrahim dari Qathin bahwa ia berkata : Saya melawati daerah Washith dimasa Umar bin Abdul Aziz, mereka mengatakan: surat amirul mukminin telah dibacakan kepada kami yang isinya: Jangan kalian mengambil dari keuntungan barang dagangan sedikitpun sampai melewati haul [ al muhalla 5/2360 al amwal hal 421 no: 1144].

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam: “Aku telah maafkan kalian dari zakat kuda.” [shahih lihat Shahih Sunan Abi Dawud kitab : shadaqah, Bab: shadaqah sa-imah no: 1573 dan1393, Shahih Sunan Tirmidzi:no:506, Shahih Sunan Ibnu Majah no: 1469 dan 1447, Shahih Jami’ no: 4375, dan Misykatul Mashabih no: 17400].

Kalau seandainya zakat perdagangan itu ada maka tentunya pada kuda itu ada zakatnya jika dijadikan barang dagangan, padahal Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam telah memaafkan !, apakah kita berani mewajibkan sesuatu yang Nabi telah maafkan ?!.

Dari Jabir bin Abdillah ia berkata telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam : “Tidak ada shadaqah pada perak yang kurang dari lima uqiyah, dan tidak ada shadaqah pada onta yang kurang dari lima dzaud, dan tidak ada shadaqah pada kurma yang kurang dari lima wasaq”. (HR. Ahmad dan Bukhari dari hadits Abu Sa’id)

Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya ia berkata : tiada zakat pada benda kecuali pada benda yang untuk berniaga. [Syaikh Al Albany berkata: atsar ini dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab “Al Umm” dengan sanad yang shahih. Lalu beliau berkata : dengan keadaannya yang mauquf (perkataan sahabat) dan tidak “marfu’” (sampai kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam), tidak ada padanya keterangan nishab zakatnya, dan yang wajib dikeluarkan darinya, maka (ini) memungkinkan untuk diarahkan kepada zakat yang mutlaq tidak terikat dengan waktu atau kadar (tertentu), tapi hanya dengan kelegaan jiwa pemiliknya. [Tamamul Minnah hal: 364], atsar Ibnu Umar itu juga dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla : 5/234) dan dishahihkannya.

Berkata Atha’: tiada shadaqah pada mutiara, batu permata, yakut, (merah delima), mata cincin, benda dan sesuatu yang tidak diperdagangkan, jika itu diperdagangkan maka padanya ada zakatnya dari harganya ketika dijual. [Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Tamamul Minnah 365]. Syaikh Al Albany berkata: Beliau (Atha) tidak menyebutkan perhitungan nilai, nishab dan haulnya.

Di saat yang sama kita tahu bahwa banyak diantara ahli fikih mewajibkan zakat pada barang-barang dagangan dan merekapun berdalil dengan riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka, tapi semua dalil yang mereka pakai, tidaklah lepas dari kritikan yang menunjukkan kelemahannya diantaranya:

1. Riwayat Jabir bin Samuroh : “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kita persiapkan untuk berniaga”. (HR. Abu Dawud, Daruquthny, dan Bazzar), hadits ini ada kelemahannya yaitu pada sanadnya ada orang yang tidak dikenal, oleh karenanya Syekh Al Albany melemahkannya dalam kitabnya Irwa’ul Ghalil No: 827. Tamamul Minnah No: 363, Silsilah Dha’ifah No: 1178. Berkata pula Ibnu hajar dalam kitab at Talkhisus Khabir 2/179 : Dalam sanadnya ada jahalah (rawi yang tidak dikenal)

2. Riwayat Imran bin Hushain secara marfu’(sampai kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam): “pada untu ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya dan pada pakaian (dagang) ada zakatnya”. (HR. Hakim dan Daruquthny). Al Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan seluruh jalan hadits ini kecuali pada salah satunya dia katakana bahwa: ini tidak apa-apa, dan keadaaan hadits yang semacam ini tidaklah bisa dipakai sebagai dalil pada masalah yang sangat umum dikalangan kaum muslimin, lebih dari itu Ibnu Daqiq Al ‘Ied (seorang ahli hadits) telah melihat pada kitab Hakim (perawi hadits ini) yang berjudul Al Mustadrok, dengan lafadz (al bur) yang berarti gandum, bukan dengan lafadz (al baz) yang berarti pakaian dagangan. Adapun Daruquthny, dialah yang jelas meriwayatkan dengan lafadz (al baz) namun dari jalan atau sanad yang lemah. Yang demikian menjadikan adanya kemungkinan dari masing-masing dua hal, maka tidaklah sempurna berdalil dengan itu. (Raudhatun Nadiyyah 1/477). Didho’ifkan oleh syekh al Albany dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 827 dan Tamamul Minnah hal 363)

3. Ijma’ (kesepakatan ulama’ tentang adanya zakat barang dagangan), seperti dinukilkan Ibnu Mundzir (kitab Al Ijma' hal: 14 no 115). Kritik: Ijma’ yang beliau katakan tidak benar karena telah menyelisihinya Abdullah bin Zubair, Amr bin Dinar, Umar bin Abdul Aziz dan ‘Atha’ [lihat al Muhalla 5/236 dan Tamamul Minnah hal: 365]

4. Dari Abu ‘Amr bin Hamas dari ayahnya ia berkata : saya menjual lauk pauk dan anak panah maka Umar bin Khattab melewati saya lalu ia berkata : Tunaikanlah zakat hartamu maka saya katakan wahai amirul mukminin : itu kan hanya lauk pauk, beliau berkata hitunglah nilainya lalu keluarkan zakatnya. [HR. Syafi’i, Ahmad, Abu ‘Ubaid, Daruquthny, Baihaqi dan Abdurrozzaq]. Kritik : riwayat ini didhaifkan oleh Al Albany dalam Irwa’ul Ghalil no: 828 karena tidak dikenalnya (jahalah) Abu ‘Amr bin Hamas

5. Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhi keduanya ia berkata : tiada zakat pada benda kecuali pada benda yang untuk berniaga. Berkata Syekh Al Albany : dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab “Al Umm” dengan sanad yang shahih lalu beliau berkata : dengan keadaannya yang mauquf (perkataan sahabat) dan tidak “marfu’” (sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam), tidak ada padanya keterangan nishab zakatnya, dan yang wajib dikeluarkan darinya, maka ini memungkinkan untuk diarahkan kepada zakat yang mutlaq tidak terikat dengan waktu atau kadar (tertentu), tapi hanya dengan kelegaan jiwa pemiliknya. [Tamamul minnah hal: 364]. Atsar Ibnu Umar itu juga dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla : 5/234) dan dishahihkannya.

6. Berkata ‘Atha’ : Tiada shadaqah pada mutiara, batu permata, yakut, (merah delima), mata cincin, benda dan susuatu yang tidak diperdagangkan, jika itu diperdagangkan maka padanya ada zakatnya dari harganya ketika dijual. [HR, Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq dan dishahikan oleh Syaikh Al Albany dalam tamamul minnah 365]. Berkata syekh Al Albany: Beliau (Atha) tidak menyebutkan perhitungan nilainya, nishob dan haulnya.

7. Adapun Khalid dia telah menahan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. [HR Bukhari no : 1399 Muslim 2/676 no : 983].

8. Dari Abdurrahman bin Abdul Qari’ ia berkata saya menjadi penjaga baitul mal di zaman Umar bin Khattab, maka jika ia keluar …. Beliau mengumpulkan harta–harta para pedagang lalu menghitungnya baik yang ada dihadapan atau yang tidak, lalu beliau mengambil harta dari ….

9. Dari Abi Qilabah bahwasanya para pegawai umar berkata : wahai amirul mukminin sesungguhnya para pedagang mengeluh dari beratnya perhitungan, maka Umar menjawab : ha …ha..ringankanlah.

10. Dari Ibnu ‘ Abbas bahwasanya beliau berkata : tidak apa-apa menunggu sampai menjualnya, dan zakat wajib padanya.

11. Mereka katakan bahwa zakat itu diwajibkan pada harta yang berkembang.

===============
Sumber :
Seputar Zakat Fithr dan Zakat Maal,
Oleh: Al Ustadz Qomar Sua'idi, Lc


Comments :

0 komentar to “Cara Zakat Barang Dagangan”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by BLOG MAS CAHYO

HEAD LINE NEWS BLOG MAS CAHYO | HOME FIKIH HADIS AL-QURAN FATWA OASE ISLAM DOWNLOAD TUTORIAL